Jawa Pos

SOP Kerap Digunakan untuk Cari-Cari Kesalahan

- @Rhenald_Kasali

Selama memimpin Tarakan, Jusuf banyak membangun trotoar yang dilengkapi dengan lampu-lampu penerangan jalan. Alhasil, malam hari Tarakan pun menjadi terang benderang. Jusuf ingin Tarakan menjadi seperti Singapura.

Ada Fadel Muhammad, mantan gubernur Gorontalo yang saya sebut ”Gila Jagung”. Fadel, dengan visinya, menjadikan Provinsi Gorontalo sebagai lumbung sekaligus eksporter jagung terbesar di Indonesia.

Semasa masih menjadi gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo suka sekali blusukan. Maka, saya menyebutny­a ”Gila Blusukan”. Setelah menjadi presiden ke-7 RI pun, Jokowi belum sepenuhnya meninggalk­an kebiasaann­ya untuk blusukan meski tak sesering dulu semasa dia masih menjadi gubernur.

Negara kita memerlukan pemimpin yang ’’gila” seperti mereka. Bukan hanya pada level wali kota/bupati atau gubernur, tetapi bahkan lebih ke atas lagi. Misalnya, setingkat menteri.

Bicara soal ini, saya terkenang dengan seorang menteri. Namanya Dahlan Iskan. Dia menjabat menteri BUMN dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid II di bawah kepemimpin­an Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Semasa menjabat, saya menyebut Dahlan sebagai menteri yang ”Gila Kerja”.

Sebutan ini bukan semata-mata karena Dahlan memang suka sekali bekerja. Memang Dahlan kerap sampai lupa waktu kalau sudah bekerja sehingga kita bisa menyebutny­a gila kerja. Slogan ini kelak diadopsi oleh Presiden Jokowi: kerja, kerja, kerja!

Namun, lebih dari itu, gaya dan cara kerja Dahlan yang serbacepat kerap membuat bawahannya pontang-panting. Persis orang gila.

Mencari Terobosan Sebagai pengusaha, cara kerja Dahlan kerap dianggap melompatlo­mpat bergantung kebutuhan karena terjadi sumbatan-sumbatan pembanguna­n. Belum selesai urusan yang satu, dia sudah dipaksa pindah ke urusan yang lain. Seperti pengusaha lainnya. Maka, mereka butuh manajer yang andal. Di birokrasi, manajer amat langka. Yang ada adalah birokrat yang sayangnya amat lamban.

Orang seperti Pak Dahlan, dalam ilmu manajemen, kita sebut sebagai penyandang helicopter view. Mereka tak perlu masuk sampai ke urusan yang terlalu teknis dan detail. Itu biar diurus oleh para eksekutifn­ya.

Para pengusaha, kalau ada urusan yang macet, suka mencari terobosan. Dahlan juga begitu. Misalnya, sebagai menteri BUMN, dia melihat jalur komunikasi sesama CEO perusahaan pelat merah ternyata macet. Mereka tak saling kenal satu sama lain. Kalau sudah begini, bagaimana BUMN mau bersinergi?

Guna menerobos jalur yang macet ini, Dahlan mengundang para CEO BUMN untuk rapat koordinasi mingguan. Lokasinya digilir di kantorkant­or pusat BUMN dan rapatnya selalu pagi hari, pukul 07.00. Kalau minggu ini rapatnya di kantor pusat Garuda Indonesia, minggu depannya pindah ke kantor BUMN lainnya lagi. Begitu seterusnya. Dengan cara seperti ini, akhirnya para CEO BUMN pun saling kenal.

Lalu, karena ketika itu yang sedang tren adalah BlackBerry, Dahlan pun menggagas grup BBM untuk para CEO BUMN. Jadi, rapat-rapat atau pengambila­n keputusan tak harus dilakukan di ruang rapat. Cukup lewat grup BBM.

Alhasil, sinergi pun mulai terbangun.

Negeri SOP ”Musuh besar” pengusaha gila kerja dan suka kerja cepat adalah birokrasi yang lengkap dengan standard operating procedure (SOP) yang rigid. Ini ibarat gas dengan rem. Kalau jalanan macet, gas dan rem memang bisa dimainkan secara proporsion­al. Tapi, kalau jalanan tidak macet dan remnya terus diinjak, kita pun jengkel.

Sayangnya, kita lebih percaya integritas itu sebagai bagian dari rigidity, padahal dunia sendiri sudah membangun konsep agility yang berkebalik­an.

Dahlan, saya kira, menghadapi situasi yang semacam ini. Kantornya, baik selama dia menjadi Dirut PLN atau Kementeria­n BUMN, samasama berisi birokrat. Padahal, sebagai entreprene­ur, Dahlan perlu ditemani dengan intraprene­ur (Anda paham bukan bedanya entreprene­ur dengan intraprene­ur?)

Di luar itu, tentunya ada pertimbang­an yang lebih besar, yakni kepentinga­n untuk kemaslahat­an masyarakat. Pertimbang­an seperti inilah yang akhirnya bisa membuat Dahlan kena jerat dalam kasus pembanguna­n 21 gardu induk listrik. Siapa pemimpin yang tahan mendengar rakyatnya setiap hari mengeluh dengan listrik yang byar-pet alias mati hidup. Maaf, persisnya lebih banyak matinya ketimbang hidupnya. Sudah banyak yang mempersuli­t, alamak, mafianya minta ampun.

Negeri kita masih mendewa-dewakan SOP. Dalam banyak hal, ini celakanya, SOP kerap saling kait-mengait dengan sejumlah aspek, termasuk kepentinga­n atau sakit hati. Misalnya, SOP kerap digunakan untuk mencari-cari kesalahan. Alhasil, hal yang lebih besar kerap dikalahkan oleh kepentinga­n yang lebih kecil.

Keberpihak­an semacam ini ternyata harganya bisa sangat mahal. Harga itulah yang kini harus dibayar oleh Dahlan. Bukan hanya untuk kasus gardu induk, tetapi juga kasus-kasus lainnya, seperti yang tengah dia hadapi di Jawa Timur.

Saya sama sekali tidak percaya kalau Dahlan Iskan didakwa melakukan korupsi atau memperkaya diri sendiri. Dia sudah kaya. Bahwa dia menabrak SOP, mungkin saja. Tapi, kalau itu untuk kepentinga­n yang lebih besar, apa salahnya? Hidup di negeri yang mendewa-dewakan SOP membuat kita sering tak bisa menjawab pertanyaan tadi. Maka, jadilah kita hanya bisa mengurut dada. Kok bisa! (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia