Jawa Pos

Muda Terus berkat Balet

-

DUNIA tari Surabaya, terutama Indonesia, bangga punya sosok Marlupi Sijangga. Penggiat balet sekaligus pendiri Marlupi Dance Academy itu konsisten menekuni dunia balet sejak berusia 13 tahun. Kini, di usia 80 tahun, Marlupi masih terus menularkan bakat tersebut kepada para didikannya. Ratusan murid telah diantarnya go internatio­nal.

Marlupi baru merayakan delapan dekade usianya pada 27 Maret lalu. Delapan puluh tahun. Namun, wajahnya masih terlihat segar dan awet muda. Tubuhnya masih lincah dan aktif. Ingatannya tajam, tak ada tanda-tanda pikun. Itu semua, kata ibu tiga anak tersebut, berkat balet. ’’ Ballet is my life,’’ ujar Marlupi.

Perjuangan Marlupi meraih impiannya di dunia balet tak semudah anak-anak zaman sekarang yang bisa mengikuti kursus balet. Perjalanan­nya begitu panjang dan naik turun. Namun, semua itu dilaluinya dengan hati riang.

Perempuan yang terlahir dengan nama Mary Lo itu jatuh cinta kepada balet saat berusia 13 tahun. Saat itu, Marlupi sedang berenang. Di gedung yang sama, ada tempat kursus balet milik orang Belanda. Terlihat olehnya nonik-nonik bertutu lucu memperagak­an tarian seindah dewi-dewi. Seketika, Marlupi terpikat oleh keluwesan gerakan balet. ’’Melihat mereka itu seperti burung-burung yang terbang bebas. Indah sekali,’’ kata Marlupi.

Marlupi meminta kakaknya untuk dikursuska­n balet. Dia masih sangat ingat, saat itu guru baletnya bernama Mevrow Zaller. Di hari pertama, Marlupi langsung tampak menonjol. Dia punya bakat alami. Marlupi kecil sering dicubit oleh teman-temannya nonik-nonik Belanda. ’’Kayaknya mereka iri. Saat itu mereka dihukum sama Mrs Zaller karena cubit saya,’’ kenang Marlupi.

Kecintaan Marlupi tak disertai restu orang tua. Padahal, sang kakak hanya mau membiayai kursus baletnya sebulan. Saking kepinginny­a melanjutka­n belajar, Marlupi nekat mencuri uang ibunya untuk membayar kursus. Hal itu baru ketahuan dua bulan kemudian. Marlupi dimarahi, tentu. Tapi, syukurlah, melihat kemauannya yang keras, ibunya mau membiayai kursus baletnya.

Dua tahun kemudian, tepatnya saat berusia 15 tahun, Marlupi sudah mendirikan sekolah balet sendiri. Sekolah yang diberi nama Mary itu hanya berupa bangunan kecil berdinding anyaman bambu. Muridnya ada 10, temanteman­nya sendiri. Dari rumahnya di kawasan Kapasan hingga ke Kebon Rojo, Marlupi berangkat naik becak. Dia menenteng loudspeake­r, gramofon, dan piringan hitam musik pengiring balet.

Marlupi pun mematenkan sekolahnya. Saat itu pemerintah melarang nama perusahaan yang mengandung unsur kebaratbar­atan. Karena itu, dia mengganti nama sekolahnya dari Mary menjadi Marlupi Dance Academy. Marlupi merupakan akronim Mary Dewi Palupi. ’’Dewi Palupi itu lambang putri yang cantik, bijaksana, dan sabar,’’ kata Marlupi.

Perempuan yang gemar mengecat rambut dengan warna terang itu mengaku lebih banyak belajar balet secara otodidak. Dia sering melihat pebalet profesiona­l Indonesia beraksi. Misalnya, Farida Oetoyo dan Yuliani Parani. Namun, saat berusia 60 tahun, Marlupi mengejar sertifikat balet di Royal Academy of Dance. Hal itu dilakukan supaya murid-muridnya bisa mendapat pengakuan lebih luas. ’’Tak ada kata terlambat bagi saya. Meski sudah tua, saat itu saya benar-benar semangat mengejar sertifikat,’’ ujar Marlupi.

Ingin anak didiknya mengembang­kan sayap lebih lebar, Marlupi pun melangkah ke jenjang internasio­nal. Dia mendaftark­an murid andalannya ke berbagai kompetisi balet dunia. ’’Di Indonesia, persaingan balet kurang fair. Anak-anak jadi nggak berkembang,’’ kata Marlupi.

Marlupi mengantark­an anak didiknya ke kompetisi di Sydney 1987 silam. Saat itu, enam penari yang dikirim berhasil meraih juara pertama. Dari situ, dia makin percaya diri untuk membuktika­n bahwa penari-penari Indonesia bisa.

Marlupi memang sangat mencintai Indonesia. Dalam setiap kompetisi yang diikuti muridnya, dia selalu menyisipka­n unsur Indonesia. Misalnya, tari bertajuk Spirit of Java yang akan dibawakan pada Young Dancer Festival di Miami, Florida, 21 April mendatang. Tarian tersebut merupakan gabungan tari balet dengan musik dan tarian Jawa. ’’Penonton luar negeri selalu terpukau dengan musik dan koreografi khas Indonesia,’’ ujar Marlupi.

Di usianya kini, semangat Marlupi di dunia balet belum juga padam. Dia bahkan masih aktif mengajar langsung murid-muridnya. Padahal, dia sudah punya ratusan guru dan asisten yang bisa menggantik­annya mengajar. Ketika ditanya mengapa masih aktif, Marlupi dengan tegas menjawab. ’’Balet itu membuat saya selalu merasa muda,’’ katanya, lantas tertawa. (adn/c19/na)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia