Jawa Pos

Dirikan PAUD di Desa hingga Ajari Warga Hidup Mandiri

Prapti Wahyunings­ih, Penggagas Sekolah Hijau Lestari untuk Semua Kalangan

- SEKARING RATRI A., Bandung

Inilah salah satu potret Kartini era kini. Meski hanya lulusan SD, Prapti Wahyunings­ih mampu mendirikan Sekolah Hijau Lestari, sekolah informal untuk semua kalangan. Lembaga pendidikan gagasannya itu sekarang berada di mana-mana.

KECAMATAN Lembang kini termasuk destinasi wisata alam unggulan di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Pada akhir pekan, daerah wisata itu selalu dipadati pengunjung.

Saking padatnya, kemacetan panjang kerap terjadi di jalan-jalan yang menuju ”kawasan puncak” di Bandung tersebut. Mayoritas kendaraan yang memadati jalanan tersebut adalah mobil pribadi dari luar area Bandung

Tidak jauh dari kawasan wisata Lembang, terdapat Desa Pasir Angling. Di desa itulah Prapti Wahyunings­ih merintis Sekolah Hijau Lestari. Berbanding terbalik dengan kawasan wisata Lembang yang kekinian, Desa Pasir Angling jauh dari kata modern. Setidaknya dibutuhkan waktu dua jam dengan naik motor dari pusat Kota Bandung untuk menuju desa berhawa sejuk itu.

Memasuki desa itu, pengunjung akan disambut gapura cantik. ”Gapura ini karya para mahasiswa KKN (kuliah kerja nyata, Red),” ujar Ignatius Yudki Utama, yang mengantar Jawa Pos ke Pasir Angling dengan motor pada Rabu (12/4).

Perjuangan belum selesai. Untuk sampai di tempat tujuan, pengendara mesti berhatihat­i karena kondisi jalan lebih parah. Bila hujan, jalan berlumpur dan licin. Bahkan, ujungnya berupa jalan setapak dengan kanankiri belukar.

Di desa yang masih asri tersebut, tidak ada sekolah formal. Yang ada baru setingkat pendidikan anak usia dini (PAUD). Yakni, PAUD Hijau Lestari. Lembaga pendidikan usia dini itulah yang masuk jaringan kerja sahabat Sekolah Hijau Lestari (SHL).

Menurut Yudki, anak-anak di Pasir Angling tidak suka bersekolah. Wajar bila di desa itu tidak ada sekolah. Karena itu, kehadiran PAUD SHL diharapkan bisa menjadi pemicu lahirnya sekolah-sekolah baru, mulai SD hingga SMA.

”Dulu pengurusny­a agak banyak, sekarang cuma tinggal dua. Sementara gurunya empat orang,” papar ketua umum SHL itu.

Ketua Pengurus Jaringan Kerja Sahabat SHL Pasir Angling Jamaludin menjelaska­n, angka putus sekolah di desa tersebut cukup tinggi. Sebab, lokasi SD hingga SMA cukup jauh, di desa lain. Minimal, anak-anak harus berjalan 3–4 kilometer.

Untuk membangkit­kan semangat belajar anak-anak di desa itu, sistem pembelajar­an PAUD SHL pun dibuat fun. Karena belum memiliki ruang kelas sendiri, proses belajar-mengajar di PAUD memanfaatk­an gedung serbaguna milik desa. Dulu, ruang kelas PAUD SHL hanya menggunaka­n tenda terpal.

Hingga saat ini, PAUD SHL memiliki 25 siswa. Mereka dididik oleh empat guru yang ternyata hanya tamatan SD. Mereka adalah warga setempat.

Uniknya, proses belajar-mengajar PAUD SHL baru dimulai pada pukul 14.00 dan berakhir pada pukul 16.00. ”Karena guru-gurunya kalau pagi harus kerja di sawah dulu,” tutur Yudki.

Selain tingkat pendidikan rendah, angka pernikahan dini warga Pasir Angling cukup tinggi. Begitu lulus SD, mereka –kebanyakan anak perempuan– langsung memilih untuk menikah. Juga, tidak sedikit remaja yang sudah menjanda.

”Bahkan, ada yang baru mau ujian sudah dilamar. Akhirnya nggak lulus SD,” ujar alumnus S-2 Teknik Penerbanga­n ITB tersebut.

Bukan hanya itu, papar Yudki, keterbelak­angan pendidikan warga di daerah tersebut berdampak pada standar hidup yang rendah. Karena itu, selain PAUD, SHL juga mengadakan program wisata live in Desa Pasir Angling untuk mendongkra­k perekonomi­an desa. Program wisata tersebut mengajak para pengunjung untuk menikmati hidup sebagai warga desa.

”Dalam program live in, pengunjung diajak untuk merasakan kehidupan sehari-hari di sini. Dia mesti tinggal di rumah penduduk, berkebun bersama warga, memerah susu sapi, hingga membuat kerajinan daur ulang dari sampah plastik,” papar Yudki.

PAUD SHL dan program live in merupakan sebagian program jaringan kerja sahabat SHL. Selain Pasir Angling, jaringan kerja sahabat SHL juga ada di beberapa daerah di Indonesia. Antara lain Karawang, Cimenyan, Ujung Berung (Bandung), Mentawai (Sumbar), Bengkulu, dan Kota Bandung. Bahkan, SHL juga ada di Lapas Bandung.

Sementara itu, Prapti tidak tahu persis kapan awal mula dirinya merintis SHL. Perempuan 39 tahun itu hanya mengisahka­n, semua berangkat dari serentetan pengalaman pahit dalam hidupnya. Perempuan yang akrab disapa Mbak Ning tersebut tidak mengenal ayah maupun ibu kandungnya. Sejak bayi, dia dibuang orang tuanya. Dia lantas dibesarkan oleh seorang bidan miskin yang bernama Sukinem Soejamto Sastro Moeljamto.

”Kalau ada yang menanyakan tanggal lahir saya, saya bisanya hanya menjawab tanggal saya ditemukan, yaitu 26 Januari 1978 di Solo. Untung, ibu angkat saya ini mau membesarka­n saya, walaupun banyak yang menentang,” ujar Mbak Ning saat ditemui di kediamanny­a sekaligus kantor pusat SHL di kawasan Karangsari, Bandung, pekan lalu.

Dibesarkan dalam segala keterbatas­an ekonomi, di usia empat bulan dia kembali didera cobaan. Prapti terkena polio. Penyakit itu membuat dia sulit berjalan. Prapti pun hanya mampu menyelesai­kan pendidikan sampai SD. Lulus SD, dia langsung bekerja di pabrik saat usianya baru 11 tahun.

Di usia belia itu juga, Prapti sudah merasakan dinginnya jeruji penjara. Hal itu terkait dengan aktivitasn­ya dalam menyuaraka­n hak-hak kaum buruh. Bahkan, dia beberapa kali keluar masuk penjara akibat keikutsert­aan dalam sejumlah aksi demo.

”Saya jadi tambah bersemanga­t ikut demo. Bukan hanya demo buruh, tapi juga demo-demo mahasiswa,” paparnya.

Sebagai aktivis buruh, Prapti menjalani hidup yang cukup pahit. Dia kemudian menemukan akar persoalan bangsa ini, yakni pendidikan universal atau pendidikan untuk semua. Tidak terpaku pada pendidikan formal.

Sejak saat itu, ke mana pun pergi, Prapti selalu melakukan hal-hal yang berguna bagi orang sekitarnya. Misalnya, mengajarka­n baca-tulis kepada anak-anak petani di Karawang sampai membantu masyarakat mendaur ulang sampah sehingga menjadi barang-barang bernilai ekonomi. Dia juga selalu mendirikan SHL di daerah yang pernah dibinanya.

”Sekolah berarti proses belajar seumur hidup. Bagi siapa pun, di mana pun. Itulah prinsip yang kami terapkan di SHL,” tegas Prapti. (*/ c11/ari)

 ?? SEKARING RATRI A./JAWA POS ?? TAHAN BANTING: Ignatius Yudki Utama (kiri) bersama Prapti Wahyunings­ih di Sekolah Hijau Lestari, Lembang, Bandung Barat.
SEKARING RATRI A./JAWA POS TAHAN BANTING: Ignatius Yudki Utama (kiri) bersama Prapti Wahyunings­ih di Sekolah Hijau Lestari, Lembang, Bandung Barat.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia