Jawa Pos

Vonis Dahlan Abaikan Yurisprude­nsi MA

- AUGUSTINUS SIMANJUNTA­K*

IRONIS dan bisa jadi preseden buruk bagi penegakan hukum di negeri ini. Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Surabaya dalam kasus pelepasan aset PT Panca Wira Usaha (PWU) Jatim, Jumat (21/4). Dahlan divonis dua tahun penjara plus denda Rp 100 juta subsider dua bulan kurungan.

Sesuai dengan amar putusan, Dahlan dianggap melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama (dakwaan subsider) dan tidak melaksanak­an tugas serta fungsinya secara benar saat menjabat Dirut PT PWU.

Hakim, tampaknya, mengabaika­n fakta bahwa pelepasan aset itu sudah dibahas secara mendalam di DPRD. Juga, mengabaika­n niat baik Dahlan untuk memulihkan PT PWU yang tampak saat Dahlan menalangi dulu pembanguna­n gedung Jatim Expo (aset PT PWU) plus personal guarantee Rp 40 miliar untuk membangun pabrik baru steel conveyor belt. Bahkan, nilai aset PT PWU saat ini sudah berlipat ganda.

Yang terpenting, selain tidak digaji, Dahlan tidak terbukti mendapat keuntungan pribadi dari pelepasan aset PT PWU yang sesuai dengan UU Perseroan Terbatas (PT) tidak perlu izin DPRD karena manajemen PT memang mandiri. Jika hakim menilai adanya korupsi secara bersama-sama, di mana bukti keuntungan bagi Dahlan? Bukti itu tidak pernah ada sejak awal sidang.

Jika majelis hakim menganggap Dahlan tidak melaksanak­an tugas dan fungsinya secara benar saat menjabat Dirut PT PWU, bukankah hal itu masuk ke dalam ranah penilaian RUPS? Mohon penegakan hukum tidak membuat publik bingung.

Pengadilan semestinya menoleh pada yurisprude­nsi Mahkamah Agung (MA) atas kasus Machroes Effendi di Sambas (1964). Machroes, seorang pegawai negeri (PNS) plus wakil ketua Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP) Sambas, dituduh menyalahgu­nakan jabatan sebagai wakil ketua YBPP (sekarang Bulog) untuk menguntung­kan diri atau orang lain sehingga merugikan keuangan negara. Prosedur vs Esensi Dalam sidang di PN Singkawang, Machroes dituduh melakukan korupsi karena mengeluark­an gula sebagai insentif padi dan menyerahka­nnya kepada orang yang tidak berhak atau menyimpang dari tujuannya. Machroes juga dianggap mengeluark­an ongkos angkutan, penggiling­an, upah buruh, dan sewa gudang dengan cara melanggar prosedur. Namun, Machroes membantah semua tuduhan jaksa. Menurut dia, kebijakann­ya sudah disetujui bupati/ketua YBPP Sambas.

Terkait dengan ongkos-ongkos jasa, Machroes mengaku terpaksa mengeluark­an dana karena pemerintah memang tidak menyediaka­n dana untuk hal-hal yang dimaksud. Kemudian, selisih dana telah dipakai untuk pembanguna­n gedung Pemda Sam- bas dan membeli lampu penerangan untuk memperinda­h Kota Singkawang. Namun, Machroes tetap divonis bersalah oleh hakim PN Singkawang (24/9/1964) dengan hukuman satu tahun enam bulan penjara. Hakim abai bahwa tidak ada dana yang mengalir ke diri Machroes.

Hakim juga lupa soal niat baik dalam kebijakan Machroes. Hakim hanya terfokus pada prosedur, bukan pada esensi kebijakan. Akhirnya, Machroes mengajukan banding ke pengadilan tinggi (PT) setempat. Ternyata, hakim tinggi menerima permohonan banding Machroes sekaligus membatalka­n putusan PN Singkawang serta meminta Machroes dibebaskan.

Ada sejumlah pertimbang­an hakim dalam putusan bebas tersebut. Pertama, perbuatan Machroes justru dianggap telah melayani kepentinga­n umum atau menguntung­kan masyarakat Sambas. Soal ongkos jasa, hakim tinggi berpendapa­t bahwa kebijakan semacam itu kadang ter- paksa ditempuh pejabat demi kelancaran pembanguna­n di daerah atau demi kepentinga­n masyarakat. Dengan demikian, negara tidak terbukti dirugikan, tetapi malah diuntungka­n. Artinya, pembelian padi untuk kepentinga­n negara tidak berkurang.

Lalu, mengenai insentif gula yang diberikan kepada warga, yang menurut aturan tidak berhak, tetap dijual dengan harga resmi. Kedua, Machroes tidak terbukti mengambil atau mendapat keuntungan dari perbuatann­ya. Alasan itulah penghapus sifat melanggar hukum (prosedur) atau teknis administra­tif. Menurut hakim tinggi, dua pertimbang­an tersebut penting dimasukkan dalam proses sidang guna penyesuaia­n penegakan hukum dengan dinamika masyarakat.

Intinya, penegakan hukum itu tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip keadilan yang belum terpikirka­n sewaktu KUHP dibentuk. Yaitu, prinsip keadilan yang terus berkembang di mana masyarakat membutuhka­n langkah-langkah progresif pejabat. Namun, kejaksaan tidak puas dengan putusan hakim tinggi. Akhirnya, Kejaksaan Agung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

Ternyata, hakim agung berpikiran yang sama dengan hakim tinggi. Tiga hakim agung, yakni Wiryono Prodjodiko­ro (ketua), Subekti (anggota), dan Surjadi (anggota), beranggapa­n bahwa perbuatan Machroes bukan tindak pidana, melainkan tergolong tindakan melayani masyarakat sehingga negara diuntungka­n.

Selain itu, Machroes tidak mengambil keuntungan dari kebijakann­ya tersebut. Alasan-alasan itulah yang menjadi penghapus sifat melawan hukum dalam perbuatan Machroes sesuai dengan prinsip keadilan yang tidak tertulis dan berlaku umum.

MA akhirnya memperkuat putusan banding sekaligus membebaska­n Machroes. Putusan kasasi itu menjadi yurisprude­nsi. Putusannya bernomor 42 K/Kr/1965. Karena yurisprude­nsi, putusan tersebut bisa diikuti seluruh hakim dalam menangani kasus yang sama.

Rupanya, kasus Machroes menjadi acuan bagi hakim PN Gorontalo dalam mengadili kasus Sartini dan kasus Ibrahim M. (1989) yang dituduh melakukan korupsi karena mengalihka­n mata anggaran untuk kepentinga­n umum lainnya. Keduanya divonis bebas lantaran tidak terbukti merugikan keuangan negara atau menguntung­kan diri/pihak lain.

Namun, jika dibandingk­an dengan kebijakan Machroes, Sartini, dan Ibrahim, aksi korporasi yang dilakukan Dahlan dalam penyelamat­an PT PWU sebenarnya jauh lebih progresif karena berlangsun­g pada era korporasi mandiri. Karena itulah, Dahlan sungguh tak patut divonis bersalah. (*) *Dosen aspek hukum di Program Manajemen Bisnis FE Universita­s Kristen Petra Surabaya

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia