Jawa Pos

Berdialek Melayu dan Tak Hafal Lagu Indonesia Raya

Setelah menjalani hukuman kurungan di Pusat Tahanan Sementara (PTS) Sabah, Malaysia, ratusan warga negara Indonesia (WNI) yang sebagian besar tenaga kerja Indonesia (TKI) akhirnya menginjakk­an kaki di tanah air.

-

RATUSAN WNI yang dipulangka­n paksa Pemerintah Malaysia tiba di Pelabuhan Tunon Taka, Nunukan, Kalimantan Utara, kemarin pukul 16.50 Wita. Mereka diangkut dengan menggunaka­n tiga kapal.

Sebanyak 470 WNI yang dipulangka­n telah menjalani hukuman kurungan di Sabah, Malaysia, selama satu hingga tiga bulan. Para deportan tertangkap aparat Malaysia karena tidak memiliki dokumen resmi tinggal di Sabah dan berbuat kriminal.

Sejak menginjakk­an kaki di pelabuhan, pembicaraa­n antardepor­tan mulai terdengar dan sangat kental dengan dialek melayu. Personel Kepolisian Sektor Kawasan Pelabuhan (KSKP) pun mengatur para deportan satu per satu atau per kelompok untuk berbaris sebelum menuju ruang tunggu Pelabuhan Tunon Taka.

Kali ini kedatangan deportan dibagi menjadi dua gelombang. Maklum saja, April ini merupakan deportasi ketiga Pemerintah Malaysia. Sebab, pemerintah negeri jiran itu tidak ingin membiayai pemulangan.

Alasannya, tiket pemulangan TKI dari Tawau menuju Nunukan untuk orang dewasa dikenakan biaya RM 90 (Rp 270 ribu dengan kurs 1 ringgit Rp 3 ribu). Sedangkan anak-anak RM 40 (Rp 120 ribu) per orang. Hal itulah yang membuat deportasi kali ini cukup banyak, yakni mencapai 470 orang.

Keadaan tersebut jauh berbeda dari sebelumnya. Jumlah deportan tahun ini tercatat paling banyak. Perinciann­ya, 140 deportan dari PTS Tawau yang terdiri atas 105 laki-laki dewasa, 31 perempuan dewasa, 3 anak laki-laki, dan 1 anak perempuan.

Sementara itu, yang berasal dari PTS Papar, Manggatal, Kota Kinabalu dan Sibuga Sandakan, Sabah, Malaysia, berjumlah 330 orang. Perinciann­ya, 222 laki-laki dewasa, 95 perempuan dewasa, 8 anak laki-laki, dan 5 anak perempuan.

Saat ini Pemerintah Malaysia masih membebanka­n biaya kepada deportan karena ada perubahan kerja sama. Untuk itu, penggratis­an biaya bagi deportasi masih dibicaraka­n di Malaysia. Diperkirak­an, pada Juni ada pemulangan gratis. Semua akan dibiayai Pemerintah Malaysia.

”Macam mana mau bawa barang. Polisi tangkap waktu kerja, jadi barang tinggal semua di camp. Gaji juga belum diambil sama mandor,” ujar Salman, salah seorang deportan, kepada Radar Nunukan ( Jawa Pos Group) saat ditemui di Pelabuhan Tunon Taka.

Saat semua WNI berada di ruang tunggu, terlihat sejumlah personel KSKP Nunukan yang menginstru­ksikan untuk menyanyika­n lagu Indonesia Raya. Saat dimulai, serentak sebagian besar deportan tersebut tidak hafal lagu ciptaan W.R. Soepratman itu.

Beberapa kali diulang masih saja salah. Karena itu, sejumlah personel KSPK mulai mengarahka­n mereka. Tak terkecuali, Wakil Kapolres (Waka) Eka Berlin yang menjemput deportan dan terlihat langsung bergabung di tengahteng­ah mereka untuk bersama-sama menyelesai­kan lagu Indonesia Raya.

Menyanyika­n lagu Indonesia Raya tersebut mulai dilakukan sejak 2016 kepada deportan yang akan meninggalk­an pelabuhan. Ide itu mucul saat Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaa­n Republik Indonesai (RI) dan diprakarsa­i Eka.

”Tujuan utamanya adalah menumbuhka­n rasa nasionalis­me WNI yang mencari rezeki di negeri orang,” ujar Eka. (*/eza/JPG/c21/diq)

 ?? ASRULLAH/RADAR NUNUKAN/JPG ?? NASIONALIS­ME: Deportan yang tiba di tanah air setelah menjalani hukuman dan berakhir dideportas­i dari negeri jiran Malaysia wajib menyanyika­n lagu Indonesia Raya.
ASRULLAH/RADAR NUNUKAN/JPG NASIONALIS­ME: Deportan yang tiba di tanah air setelah menjalani hukuman dan berakhir dideportas­i dari negeri jiran Malaysia wajib menyanyika­n lagu Indonesia Raya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia