Pertanggungjawaban Penyelenggara Tidak Terperinci
SIDOARJO – Sidang perkara korupsi dana pendidikan luar sekolah (PLS) yang menyeret Bupati Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT), Marthen Luther Dira Tome berlanjut kemarin (21/4). Pada sidang di Ruang Cakra Pengadilan Tipikor Surabaya di Sidoarjo itu, jaksa penuntut umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendatangkan sebelas saksi.
Marthen tampak sehat kemarin sore. Dia mengaku siap mengikuti sidang. Menggenakan kemeja lengan panjang putih, dia melenggang menuju ruang sidang tanpa dikawal polisi bersenjata. ”Sudah lima bulan saya tidak pulang ke rumah. Rasanya rindu sekali,” ungkapnya.
Sidang dimulai pukul 15.30. Sebelas saksi itu merupakan ketua Forum Komunikasi Tenaga Lapangan Dikmas (FKTLD). Mereka adalah Zet Hendrikson Adoe (Ketua FKTLD Kota Kupang), Rony Hamana Kula Awang (Sumba Timur), Lisinus Pitang (Sikka), dan Kosmas Renggi (Ende). Ada pula Ignasius Olla (Lembata), Jemmy M.R. Peringmang (Alor), Deky Liniard Seo (Kabupaten Kupang), serta Vincensius Kabe (Ngada). Termasuk Agustinus Malo (Belu), Imelda G. Dangga Loma (Sumba Barat), dan Frans Sinyo U Wungkung (Flores Timur). Karena peran yang pada intinya sama, mereka diperiksa secara bersama-sama.
Pertanyaan JPU KPK lebih banyak seputar tugas pokok dan fungsi mereka sebagai FKTLD. Dua saksi terlihat paling aktif menjawab. Mereka adalah Zet Hendrikson Adoe dan Rony Hamana Kula Awang. Sementara itu, sembilan saksi lainnya lebih banyak mengamini saja.
Adoe menjelaskan, uang operasional dari provinsi diterima setiap kelompok. Lalu, uangnya dikembalikan, sebagian untuk membeli perlengkapan. Ketua kelompok menyetujui forum yang menyiapkan ATK, buku, serta matras untuk motivasi belajar. ”Jadi, bukan kami yang memaksa mereka,” terangnya.
Mereka juga mengaku pernah mendapatkan cara pelaksanaan program yang dijelaskan Marthen yang saat itu menjabat Kabid Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT. Termasuk teknis laporan pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan dan penggunaan dana. ”Setiap ada pelaporan, pekerja lapangan melakukan perekaman di kecamatan,” terang Rony.
Di sisi lain, Yohanis Daniel Rihi, penasihat hukum terdakwa, mempertanyakan kenapa mereka harus melibatkan kepala desa dan camat setempat. Menurut Adoe, kalau tidak melibatkan camat serta lurah, kegiatan PLS tidak akan sukses.
”Kenapa kami melibatkan tokoh agama, adapt, dan masyarakat? Mereka bisa menggerakkan masyarakat dan memberikan motivasi,” terangnya.
Yohanis lagi-lagi menekankan tentang kepemilikan uang yang disebut sebagai uang transportasi. Berdasar dakwaan JPU, uang Rp 900 ribu itulah yang mengalir ke camat dan kepala desa. Yakni, Rp 50 ribu per bulan. Karena itu, negara dirugikan Rp 3,3 miliar. Semua saksi kompak merasa bahwa uang tersebut adalah milik mereka. ”Itu uang kami. Jadi, kami berhak melakukan apa saja,” jawab Adoe yang diamini sepuluh saksi lainnya.
Mendengar penyataan itu, majelis hakim yang diketuai Tahsin mencoba mengulas penjelasan lebih dalam. Sebab, menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), uang transportasi penyelenggara tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan. ”Ada laporan dari penyelenggara, tapi tidak lengkap dan terperinci. Ke mana uang ini?,” tanya Tahsin.
Menanggapi hal itu, Yohanis menyayangkan audit BPK tidak pernah mengklarifikasi para penyelenggara. Akibatnya, terjadi kesalahpahaman. Jadi, dia menganggap perlu ada keterangan dari pihak BPK. ”Kalau investigasi, harusnya BPK wajib bertemu langsung,” sesalnya. Sidang ditunda sampai Selasa (25/4). Agendanya masih sama, yaitu mendengarkan keterangan saksi. (aji/c24/diq)