Bingung Jumatan dengan Tujuh Imam di Beijing
Paguyuban Masyarakat Tionghoa Surabaya baru saja membawa rombongan ormas Islam ke Tiongkok. Mereka terdiri atas perwakilan pejabat MUI Jatim, Pengurus Wilayah (PW) Muhammadiyah Jatim, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PW NU), dan perwakilan Yayasan Haji M
SALAT Jumat pertama di Beijing benarbenar membuat para kiai dan tokoh ormas Islam Jatim bingung. Perbedaan budaya membuat cara ibadah menjadi beragam. Biasanya, saf salat paling depan diisi terlebih dahulu. Tapi, saat salat Jumat di Masjid Niu Jie, barisan tengah dikosongkan. Tidak boleh diisi.
Djadi Galajapo, salah satu anggota rombongan tur, enak saja duduk di tengah-tengah masjid. Batinnya, ada tempat kosong kok tidak ditempati. Setelah duduk, seseorang menepuknya dari belakang. ”Aku ya bingung. Nggak ngerti bahasanya. Ternyata disuruh minggir,” kata komedian tersebut.
Rombongan lantas duduk berpencar. Pukul 11.45 waktu setempat, azan berkumandang. Biasanya, setelah azan jamaah melakukan salat sunah Qabliyah. Tapi di Beijing tidak. Jamaah tetap duduk
Rombongan semakin bingung saat tujuh pria dengan jubah hitam dan serban putih maju ke depan mimbar. Mereka melewati saf tengah yang sejak awal dikosongi. Tujuh orang itu lantas menghadap kepada jamaah.
Lho, imamnya kok tujuh? Itulah pertanyaan yang muncul di benak seluruh rombongan Indonesia. Mereka tolah-toleh, saling menatap penuh tanda tanya.
Tujuh pria itu lantas duduk bersila dan membuka Alquran. Dari situ, rombongan mafhum bahwa tujuh orang tersebut bukan imam semuanya. Itu memang kebiasaan di ibu kota Tiongkok tersebut. Sebelum khotbah, jamaah masjid mendengarkan bacaan ayat suci terlebih dahulu.
Tujuh orang itu lantas bergantian membacakan ayat suci. Mohammad Nurfatoni, perwakilan PW Muhammadiyah, sampai mencatat surat apa saja yang dibacakan. Lalu, bergantian mengalunlah ayat-ayat dari surah Al Fatihah, ayat Kursi, At Thariq, Al A’la, Adh Dhuha, Al Qadr, Al Zalzalah, At Takatsur, Al Ashr, Al Fiil, Al Quraisy, Al Maun, Al Kautsar, Al Kafirun, An Nasr, Al Lahab, Al Ikhlas, Al Falaq, An Nas, dan Al Baqarah sampai ayat 5. Pemungkasnya adalah doa.
Setelah membaca Alquran, salah seorang imam berkhotbah. Rombongan ulama dari Indonesia dibuat keheranan lagi. Sebab, pengkhotbah itu tidak menggunakan mimbar, melainkan meja yang menyerupai podium. Mim- bar dengan tongkat malah tidak dipakai.
Tidak ada yang paham apa yang disampaikan pria yang membawa lima lembar kertas itu. Sebab, khotbah memang disampaikan dalam bahasa Mandarin. Karena beberapa kali ayat Alquran dibacakan, para ulama akhirnya tahu bahwa yang disampaikan terkait dengan Isra Mikraj. ”Karena yang dikutip pertama itu surah Al Isra,” jelas Nurfatoni.
Khotbah itu berlangsung hampir satu jam. Tanpa khotbah kedua, pria tersebut lalu menuju tempat imam dan memulai salat. Bingung lagi rombongan Indonesia. Tapi, mereka ikut saja. Mengikuti kebiasaan di sana. Mereka memulai takbir setelah tujuh ulama itu memulai salat. Namun, hati kembali bertanya-tanya. Kok tidak ada suara yang keluar dari imam? Tiba- tiba jamaah melakukan rukuk sendiri-sendiri. Berarti itu masih salat Qabliyah. Bukan salat Jumat. ”Ini kan jadinya nawaitu bingung. Padahal, tadi niat saya untuk salat Jumat,” celetuk Djadi.
Setelah salat, ada lagi khotbah yang disampaikan. Kali ini khotbah yang sesungguhnya. Dilakukan di atas mimbar sambil membawa tongkat. Khotbah itu lebih singkat. Hanya sepuluh menit. Ritual salat selanjutnya berjalan seperti di Indonesia.
Setelah keluar dari masjid, cara salat Jumat itu jadi rasan-rasan rombongan. Mereka mulai mendiskusikan cara ibadah yang dirasa tak lazim itu. Beberapa pihak menduga perbedaan itu terjadi karena umat Islam di Tiongkok masih minoritas. Di antara lebih dari 1 miliar penduduk Tiongkok, hanya ada 20 juta muslim.
Rombongan lalu melanjutkan perjalanan dengan mengunjungi beberapa masjid dalam tur selama sepuluh hari itu. Salah satu masjid yang menarik perhatian rombongan ialah Masjid Madian yang masih berada di Beijing. Masjid yang berusia sekitar 300 tahun itu menjadi tempat untuk cari jodoh. Yang datang ke sana ialah para lansia muslim. Ada yang janda atau duda. Ada juga yang melajang selama hidupnya.
Biro jodoh di masjid itu diselenggarakan karena umat muslim sulit mencari jodoh sesama muslim. Mereka tidak ingin menjadi jomblo hingga akhir hayat. Selama setahun, masjid tersebut mampu mempertemukan 50 pasangan, lalu menikahkan mereka secara sah. ”Jangankan untuk lansia, anak cucu mereka saja susah cari jodoh,” jelas Nurfatoni.
Setelah dari Beijing, rombongan melanjutkan perjalanan ke Linxia, Lanzhou, Xian, dan Xiamen. Mereka melihat bagaimana umat muslim menjalani kegiatan dengan status minoritas.
Sebelum kembali ke Indonesia, mereka berkesempatan menunaikan salat Jumat kedua di Beijing. Kali ini mereka sudah paham perbedaan cara ibadah. Namun, bedanya, tidak ada tujuh ulama yang membacakan ayat suci Alquran. Seluruh kegiatan tersebut dilakukan satu imam.
Ketua MUI Jatim Abdusshomad Buchori mencatat sejumlah poin perjalanannya. Catatan itu disampaikan kepada Konsul Jenderal (Konjen) Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk Surabaya Gu Jingqi yang hadir dalam acara pertemuan kemarin. ”Saya sampaikan agar wisatawan muslim yang datang ke Tiongkok benarbenar nyaman,” jelasnya.
Pertama, Abdusshomad mengeluhkan toilet di bandara. Dia menerangkan, umat muslim harus membasuh sisa pipis dengan air. ” Lha ini, airnya baru keluar saat kita mundur. Makanya, kita harus bawa air mineral saat buang air kecil,” jelasnya, lalu ditanggapi anggukan Gu Jingqi.
Selain itu, akses air untuk berwudu terbatas. Dia menerangkan, beberapa bagian tubuh bisa hanya dibasuh. Namun, khusus kaki harus disiram. Petugas bandara sempat melarang rombongan untuk membasuh kaki karena toilet kering. ”Kami harapkan ada tempat khusus untuk berwudu,” lanjut dia.
Selain itu, dia menyarankan kepada para anggota rombongan untuk memberikan nama kepada anak atau cucu dengan tiga kata. Sebab, ada rombongan yang sempat bermasalah di bandara karena hanya punya nama satu kata. ”Sodiq. Nanti susah di bandara. Makanya, nanti kalau ngasih nama tiga kata ya,” canda Abdusshomad.
Donatur tur, Heru Budihartono, senang melihat senyum rombongan setelah pulang. Dia berjanji memberangkatkan lagi para ulama Jatim tahun depan. ”Supaya mereka tahu bagaimana umat muslim di sana,” jelas pengusaha perhiasan emas itu. (*/c11/dos)