Jawa Pos

Peralatan Masih Sewa, Dianggap Salahi Pakem

Berawal dari obrolan dua perempuan, muncul gagasan untuk membentuk sebuah grup reog perempuan. Dalam perjalanan, eksistensi grup itu menuai pro-kontra.

- LATIFUL HABIBI,

KESENIAN reog sudah menjadi ikon Ponorogo. Selama ini, salah satu warisan budaya dunia itu identik dengan kaum laki-laki. Hanya sebagian penarinya yang perempuan. Namun, dalam perkembang­annya, kaum hawa tak mau kalah dengan laki-laki. ’’Nama grupnya Sardulo Nareshwari,’’ jelas Tri Heni Astuti, pendiri grup reog perempuan tersebut.

Grup dengan semua personel perempuan satu-satunya di Ponorogo atau bahkan di Indonesia itu dibentuk pada 2015. Perempuan kelahiran Ponorogo, 4 September 1976, tersebut mengungkap­kan bahwa pembentuka­n grup berawal dari sebuah obrolan dengan salah seorang temannya.

Ide pun muncul dengan didasari rasa ingin ikut melestarik­an warisan nenek moyang. ’’Lalu, kami kumpulkan ibu-ibu di desa ini,’’ kata warga Dusun/Desa/ Kecamatan Sawoo, Ponorogo, itu.

Sekitar 40 perempuan anggota PKK desa setempat dikumpulka­n di balai desa. Pertemuan tersebut juga dihadiri pejabat pemerintah desa (pemdes). Grup reog perempuan itu dibentuk di Desa Sawoo. Pemdes pun mendukung. Latihan diadakan sekali dalam sepekan, bertempat di balai desa. ’’Waktu itu belum ada namanya,’’ ungkap istri Kuswanto tersebut.

Awalnya, yang melatih adalah seniman reog perempuan desa setempat. Namun, karena dia harus pindah ke Gresik, yang melatih selanjutny­a adalah seniman yang berasal dari salah satu sanggar di Sawoo.

Mereka meminjam peranti dari salah satu grup reog di kecamatan itu. Setelah jalan, grup reog perempuan tersebut diberi nama Sardulo Nareshwari. ’’Sardulo itu macan dan Nareshwari adalah kecantikan atau lemah lembut,’’ ucap ibu dua anak tersebut.

Semua personelny­a perempuan. Mulai pembarong, ganongan, warok, klonosewan­dono, hingga pemain musik dan senggak- nya.

Bedanya, reog atau baronganny­a berukuran mini. Meski sebenarnya mampu atau kuat memainkan reog besar, para seniman perempuan itu tidak selincah laki-laki. Hanya pemain kendang dan terompet yang laki-laki. ’’Sebenarnya kuat kalau hanya sebentar. Tapi kalau berjamjam, kami tidak mampu,’’ ujar Tri.

Pada awal pembentuka­nnya, grup reog tersebut beranggota 40 orang. Kini anggotanya lebih dari 50 orang. Semuanya merupakan ibu-ibu desa setempat. Usia anggota grup itu bervariasi. Yang paling muda 25 tahun dan tertua 75 tahun. Dia menyebutka­n, usia memengaruh­i peran dalam grup itu.

’’Kalau yang muda mbarong. Waroknya usia 30-an dan yang tua biasanya bagian senggak,’’ tutur lulusan SMAN 1 Sambit pada 1994 tersebut.

Meski sering pentas, grup tersebut belum memiliki peralatan sendiri. Selama ini, mereka meminjam alat dari grup lain. Mereka sebenarnya sudah mengajukan permohonan bantuan alat kepada pemkab. Namun, hingga kini, belum ada realisasi. Pihaknya akan terus berupaya agar grup mereka punya peralatan sendiri. ’’Mudah-mudahan nanti bisa punya,’’ katanya.

Di sisi lain, eksistensi grup Sardulo Nareshwari menimbulka­n pro-kontra di masyarakat. Banyak yang menganggap grup tersebut menyalahi kodrat dan norma.

Grup itu pun dianggap merusak pakem reog karena semua personelny­a perempuan. ’’ Tujuan utama kami adalah melestarik­an kesenian ini,’’ ungkapnya.(*/ sat/c23/diq)

 ?? JAWA POS RADAR PONOROGO ?? SATU-SATUNYA: Tri Heni Astuti (tengah) bersama anggota reog Sardulo Nareshwari.
JAWA POS RADAR PONOROGO SATU-SATUNYA: Tri Heni Astuti (tengah) bersama anggota reog Sardulo Nareshwari.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia