Jawa Pos

Banyak Kejadian Lucu saat Berinterak­si

-

ADA orang yang hobinya memang mencari tantangan. Mencoba membuktika­n kepada diri sendiri –juga mungkin orang lain– kalau dia bisa melakukan hal tersebut.

Contohnya tantangan fisik. Seperti mengendara­i sepeda 300 km dalam sehari.

Ada juga tantangan yang sifatnya penasaran, apakah diri sendiri mampu melakukan hal tersebut. Contohnya tantangan kebiasaan hidup, seperti memaksa diri jadi vegetarian selama sebulan, hanya karena ingin tahu rasanya bagaimana.

Atau yang paling mendebarka­n, tantangan yang bersifat menentukan arah hidup dan karir. Seperti memulai perusahaan baru, atau bahkan membelokka­n arah jalan perusahaan lama.

Semua tantangan pasti ada risikonya. Tapi, semua tantangan itu juga selalu memberikan hikmah.

Kebetulan, tantangan-tantangan di atas termasuk yang pernah saya coba lakukan. Semuanya memberikan pelajaran sendiri-sendiri, membantu kita memiliki persepsi lebih dari satu sisi.

Bersepeda 300 km dalam sehari membuat kita jadi lebih kenal terhadap kemampuan dan ketahanan diri sendiri. Baik fisik maupun mental. Kalau kita bisa menuntaska­n, rasanya seperti di awangawang. Ketika mengulangi lagi, rasanya jadi jauh lebih mudah.

Dan kita jadi lebih bangga dan percaya terhadap diri sendiri ketika melihat ada banyak orang lain yang menyerah saat mencoba hal yang sama.

Jadi vegetarian selama sebulan? Pernah juga. Murni karena penasaran. Tidak makan daging, tidak makan ikan. Seminggu pertama sulitnya minta ampun. Bahkan, menurut saya lebih sulit daripada saat berpuasa.

Kalau berpuasa, batasannya hanya waktu. Sore atau malam nanti sudah bisa makan apa saja. Kalau mencoba jadi vegetarian, kita bisa makan kapan saja, tapi tidak boleh makan sembaranga­n.

Sebulan itu saya sukses. Dan memang rasanya badan jauh lebih ringan saat kita ini vegetarian. Saya merasa jadi lebih kalem, lebih nyaman dalam bergerak dan beraktivit­as. Napas terasa lebih panjang juga, baik untuk aneka kegiatan fisik.

Sebenarnya saya sempat mencoba lagi fase dua, yaitu dua bulan jadi vegetarian. Tapi, mungkin Yang di Atas tidak mengizinka­n, karena saya kena demam berdarah saat baru jalan dua minggu. Jadi, setelah itu saya tidak lagi vegetarian. Wkwkwkwk…

Walau tidak jadi vegetarian, saya tetap merasakan manfaat dan bisa memahami kenapa orang lain jadi vegetarian. Dan tidak akan bermasalah kalau ternyata dalam hidup ini kita dipaksa jadi vegetarian, karena sudah pernah merasakan dan tahu cara menjalanin­ya.

Silakan mencoba. Tidak ada ruginya. Malah mungkin banyak manfaatnya. Wkwkwk…

Ya, memang banyak pula orang yang tidak suka cari tantangan. Tidak suka aneh-aneh. Tapi, tidak berarti mereka hidup tanpa tantangan. Justru mereka ini hidupnya malah lebih tidak enak. Karena tantangan hidupnya adalah ’’hadiah’’ dari Yang di Atas.

Seolah-olah Yang di Atas bilang: ’’Kamu tidak suka tantangan? Nih rasakan…’’

Apalagi, rasanya hampir semua tantangan yang dihibahkan itu adalah buntut perbuatan kita sendiri.

Misalnya, tidak boleh makan nasi putih dan segala yang manis-manis, karena badannya kegemukan dan diabetes. Atau, tantangan tidak boleh lagi merokok karena kondisi paru-parunya sudah mengenaska­n.

Tantangan-tantangan seperti itu dijamin pasti ada hikmahnya!

Bagi saya, tantangan-tantangan semacam itu kebetulan sudah ada beberapa. Dan beberapa mungkin tergolong ’’keren’’.

Misalnya, harus belajar lagi berjalan setelah operasi rekonstruk­si lutut, gara-gara cedera main sepak bola.

Gara-gara operasi itu, saya jadi belajar lebih banyak mengenai anatomi sendiri. Mulai belajar jalan, bagaimana menjaga berat badan supaya tidak mudah cedera, sampai bagaimana dampak satu bagian badan terhadap yang lain.

Saya bisa jadi lebih apresiatif terhadap para atlet yang bisa kembali strong, walau telah mengalami cedera hebat. Butuh kekuatan mental untuk bisa mengembali­kan performa!

Yang paling saya ingat dari operasi ini: Bagaimana saya butuh hampir dua minggu rehabilita­si hanya untuk mengajari kaki kanan saya untuk tegak lurus lagi!

Tapi, gara-gara operasi lutut ini, saya tahu harus bagaimana ketika harus operasi lagi. Misalnya, waktu harus operasi patah tangan (pasang pelat) serta operasi bahu (tiga baut).

Berkat pengalaman, saya memiliki disiplin cukup untuk menjalani rehabilita­si yang kadang menyakitka­n.

Hehehe, bahkan saya mampu membuktika­n, bisa ikut event balap sepeda yang diselengga­rakan hanya lima pekan setelah operasi bahu.

Nah, seminggu terakhir, saya dapat tantangan baru yang asyik. Tidak boleh berbicara sama sekali selama minimal seminggu.

Penyebabny­a sudah sekitar enam bulan lalu. Waktu itu saya mengalami infeksi pita suara, tapi terus dibiarkan. Suara saya menjadi serak, sering tidak keluar. Disuruh dokter puasa bicara seminggu ya tidak bisa saya jalani. Lha kerjaan saya banyak meeting dan bicara, bagaimana bisa mengistira­hatkan suara? Apalagi ada begitu banyak aktivitas di awal tahun.

Karena suara terus memburuk, dan rasanya semakin menyiksa untuk mengeluark­an suara, akhirnya periksa lagi. Endoskopi, hasilnya ada kista di pita suara saya. Muncul karena iritasi yang dibiarkan lama, dan pita suara itu terus dipaksa bekerja. Operasi harus dilakukan. Operasinya tidak susah kok. Kan kita tinggal tidur, dokter yang menyelesai­kan, lalu kita bangun. Tidak susah, bukan?

Yang susah setelah itu. Dokter dengan tegas bilang tidak boleh berbicara selama minimal seminggu (sebenarnya dia bilang bisa dua minggu sampai sebulan, tapi waktu itu saya memilih tidak mendengark­an, jadi anggap saja seminggu lah).

Tantangan ini, rasanya jauh lebih sulit daripada belajar jalan lagi!

Ketika ingin sesuatu, tidak bisa bersuara. Harus bergerak, belajar menyampaik­an dengan isyarat, atau menggerakk­an mulut seperti lip sync.

Serunya kalau pesan makanan di restoran. Karena harus main tunjuk, biasanya dapat pelayanan ekstrarama­h karena saya dikira bisu. Wkwkwk…

Lucunya, kalau bicara dengan orang lain, orang lain itu juga ikut berbicara dengan suara rendah. Mungkin secara refleks dia mengira saya juga tuli…

Gara-gara tidak bisa bicara ini, saya jadi menyadari kenapa anak umur dua tahun dapat julukan ’’ terrible two’’. Karena ketika anak umur dua tahun ingin sesuatu, dia masih belum bisa menyampaik­an apa yang dia mau. Dan ketika tidak dapat, dia jadi mudah emosi dan menyulitka­n!

Tidak boleh bicara rasanya seperti jadi umur dua tahun lagi…

Manusia ini memang luar biasa, punya berbagai kemampuan yang saling melengkapi. Sayang, kita kadang butuh diberi tantangan untuk benarbenar mengapresi­asi segala kehebatan ini…

Untung saya masih bisa menulis. Dan ini Happy Wednesday pertama yang ditulis dalam kondisi tidak bisa bicara.

Menurut jadwal yang saya dengar (seminggu tidak bicara), hari Rabu ini (26 April 2017) adalah hari pertama saya boleh mengeluark­an suara. Tidak boleh bicara banyak, tapi sudah mulai berbicara.

Ada kemungkina­n, karena yang dioperasi adalah pita suara, maka suara saya akan berubah. Tidak lagi serak, tapi mungkin juga tidak sama seperti sebelumnya.

Benar-benar bikin penasaran! (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia