Jawa Pos

Angka Drop Out Vaksin Bayi Tinggi

-

JAKARTA – Belum semua orang tua paham pentingnya imunisasi bagi bayi. Fakta itu terlihat dari angka drop out bayi dari program pemberian vaksin tahun lalu. Ada 343 ribu bayi atau sekitar 5-7 persen yang tak lagi memperoleh hak dasar mereka. Berdasar data WHOUnicef (Juli 2016), angka drop out Indonesia jauh lebih tinggi daripada negara-negara tetangga. India misalnya. Angka drop out hanya 3 persen. Bahkan, angka drop out imunisasi Indonesia jauh lebih besar ketimbang Timor Leste yang 4 persen.

Dirjen Pencegahan dan Pengendali­an Penyakit Kementeria­n Kesehatan (Kemenkes) M. Subuh mengakui, Indonesia memang kalah jauh oleh negara-negara tetangga bila dibandingk­an secara persentase. Sebab, angka kelahiran bayi di Indonesia jauh lebih besar daripada negara-negara tersebut. ”Maldives, misalnya, sudah nol persen. Ya tentu saja karena jumlah kelahiran di sana jauh lebih rendah. Tidak bisa ungkapnya di Jakarta kemarin (25/4).

Dalam perjalanan­nya, program imunisasi memang tak bisa berjalan mulus. Banyak kendala yang dihadapi. Kendala paling besar terkait dengan pemahaman orang tua. Entah itu soal isu halal atau haram maupun dampak imunisasi bagi anak yang berupa demam. Akibatnya, tak jarang anak terpapar virus yang sejatinya bisa dicegah dengan pemberian vaksin sejak dini. ”Kami sudah sweeping. Cek anak-anak ini. Tapi, karena orang tua tidak menghendak­i, tentu agak susah,” keluhnya.

Sekjen Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Piprim Basarah Yanuarso minta MUI turun tangan untuk mengedukas­i ma-sya-rakat. ”Mengingat pentingnya imu-nisasi bagi anak, tentu peran MUI sangat besar,” ujarnya. Dia menjelaska­n, dampak drop out me-mang tak serta-merta. Ada jeda waktu 1–2 tahun hingga outbreak penyakit terjadi. Berkaca pada Pro-vinsi Aceh, angka cakupan imu-nisasi turun 25 persen pada 2015. Setahun berlalu, outbreak penyakit difteri mulai terjadi.

Kondisi serupa terjadi di Sumatera Barat pada 2012. Angka cakupan imunisasi turun drastis dari 93 persen menjadi 58 persen. Akibatnya, banyak bayi dan balita yang terserang difteri pada 2014. ”KLB (kejadian luar biasa, Red) bisa terjadi jika cakupan imunisasi kurang dari 60 persen di wilayah tersebut. Penyakit akan bermuncula­n,” jelasnya. Saat ini, menurut catatan IDAI, ada beberapa daerah yang menjadi kantong-kantong gerakan tolak imunisasi. Antara lain Aceh, Sumatera Barat, dan Jawa Timur.

Kendati begitu, kondisi itu tentu tidak boleh dijadikan excuse bagi pemerintah untuk pembiaran. Pemerintah harus getol melakukan pendekatan kepada pihak-pihak tersebut. Dengan begitu, pemahaman mengenai pentingnya vaksinasi bisa diterima. ”Misalnya melakukan dialog dengan pemuka agama di sana, lalu mengajak mereka ke Biofarma, misalnya, untuk melihat langsung proses pembuatan vaksin,” ungkapnya.

Selain itu, untuk mengurangi ang-ka drop out tersebut, harus dilakukan vaksinasi secara simultan dan combo. Simultan dengan cara memberikan beberapa suntikan dalam satu kali kunjungan. ”Lalu vaksin combo. Beberapa vaksin jadi satu paket sehingga bisa se-ka-ligus dan tidak miss,” ungkapnya. Selain imunisasi rutin yang sudah dilaksanak­an selama ini, pemerintah menambah layanan dengan beberapa jenis imunisasi baru.

Tahun ini ada tiga jenis vaksin yang dikenalkan. Yakni vaksin measles-rubella (MR) yang akan menggantik­an vaksin campak di seluruh provinsi di Jawa, vaksin pneumococc­us yang diterapkan terlebih dahulu di Lombok Barat dan Lombok Timur, serta vaksin JE ( Japanese encephalit­is) di sembilan kabupaten/kota di Provinsi Bali. Di samping itu, akan ada perluasan pengenalan vaksin HPV yang pada 2016 sudah dimulai di DKI Jakarta. Perluasan pengenalan dilakukan di Surabaya, Kulon Progo, dan Gunungkidu­l.

Kasubdit Imunisasi Kemenkes Prima Yosephin mengatakan, untuk mendukung program itu, Kemenkes menganggar­kan dana Rp 700 miliar. Angka tersebut hanya diperuntuk­kan pengenalan awal vaksin MR. (mia/c11/oki)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia