Jawa Pos

Sejam Hasilkan 400 Liter Air

-

Seratusan hasil inovasi dipamerkan. Mulai aneka varietas baru tanaman unggul, olahan makanan dari berbagai umbi-umbian, aneka pupuk tanaman organik, sampai perlengkap­an mekanis seperti kincir untuk pembangkit listrik tenaga angin.

Di antara sekian banyak hasil inovasi, karya Sutrisno Salomo Hutagalung terlihat paling mencolok. Rombongan Komisi VII DPR yang kemarin siang berkunjung juga betah berlama-lama mengamati mesin karya peneliti di Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian LIPI itu.

Mesin karya Sutrisno memang cukup besar. Tingginya sekitar 2 meter dan panjangnya mencapai 3 meter. Selain itu, mesin yang berfungsi membuat air gambut layak minum tersebut dipenuhi panel listrik dengan lampu yang berkedip-kedip. Persis di tengahnya ada peranti komputer untuk mengatur kinerja mesin.

Setelah meladeni anggota dewan yang bertanya ini dan itu, Sutrisno menjelaska­n detail mesin yang dia buat mulai 2012 tersebut. Pria kelahiran Cimahi, 8 Oktober 1960, itu sudah tidak kaget jika karyanya menyedot perhatian. ”Tercatat, dalam empat kali pameran terakhir, inovasi saya ini menjadi primadona,” ujar Sutrisno, lantas tertawa.

Pameran terakhir yang diikuti adalah puncak peringatan Hari Kebangkita­n Teknologi Nasional (Hakteknas) di Solo tahun lalu.

Suami Lili Rishandiar­i itu lantas menceritak­an awal mula inovasi yang sudah didaftarka­n patennya pada 2015 tersebut. Pada 2012 LIPI membuat program riset unggulan dengan fokus kerja di wilayah Riau. Akhirnya tebersit di benaknya mengolah air gambut yang begitu banyak di Riau dan sekitarnya. ”Dari literatur yang saya baca, jumlah air gambut di Indonesia terbesar keempat di dunia,” ungkapnya.

Stok air gambut di Indonesia itu banyak karena luas area gambut di Indonesia diperkirak­an mencapai lebih dari 17 juta hektare (ha). Negara terluas lahan gambutnya adalah Kanada (170 juta ha), Rusia (150 juta ha), dan Amerika Serikat (40 juta ha).

Sayang, banyaknya stok air gambut itu sampai sekarang tidak bisa dikelola dengan baik. Bahkan sebaliknya, air gambut sering menjadi biang penyakit. Misalnya gatal-gatal pada kulit sampai menjadi media pertumbuha­n bakteri E. coli. ”Dari fisiknya saja, warnanya hitam pekat dan berbau menyengat,” katanya.

Sebelum membangun mesin yang mampu mengolah air gambut menjadi air layak minum, Sutrisno mencari sampel beberapa jenis air gambut. Dia datang sendiri ke lahanlahan gambut yang tersebar di Riau.

Tujuannya jelas, mencari air gambut kategori paling pekat dengan bau paling menyengat. Akhirnya, ketemulah sampel itu di kawasan Rimbo Panjang, Riau. Untuk pembanding, Sutrisno juga mengambil sampel air gambut di kawasan Kampar Kiri Hilir dan Tapung Hilir, keduanya di Kabupaten Kampar. ”Waktu itu ada sampel 1 ton yang dikirim sebagai sampel penelitian saja. Ongkos kirimnya sekitar Rp 10 juta,” kenangnya.

Setelah siap dengan sampel air gambut, Sutrisno memulai membuat rancang bangun sistem pemurnian itu. Menurut dia, alat ciptaannya bekerja tanpa menggunaka­n bahan penjernih kimia sejenis kaporit. Selain itu, keunggulan karyanya tersebut adalah hasil pengolahan air gambut menjadi air layak minum tidak menghasilk­an sisa atau ampas. Seluruhnya larut.

Mekanismen­ya dimulai dengan mengalirka­n bahan baku berupa air gambut. Kemudian, setelah masuk pipa, air gambut itu ditembak dengan ozon (O3). Air gambut yang bercampur ozon tersebut masuk ke pipa yang berkelok-kelok. Di dalam pipa itu juga ada alat yang berfungsi seperti pengaduk.

Setelah itu sampailah ke tabung pengolahan pertama. Di tabung tersebut air gambut yang masuk ditembak kembali dengan sinar ultraviole­t (UV). ”Ozon dan sinar UV ini bisa mematikan bakteribak­teri yang ada di dalam air gambut,” ujarnya.

Sutrisno menjelaska­n, banyak sekali manfaat pemberian ozon ke air gambut. Selain dapat mematikan mikroorgan­isme, juga mampu menghilang­kan bau pada air (deodorisas­i). Ozon juga mampu menjalanka­n fungsi dekolorisa­si atau menghilang­kan warna akibat berbagai zat dan pewarna organik di dalam air gambut.

Setelah selesai proses di tabung pertama, air kemudian dialirkan ke tabung kedua. Saat keluar di tabung kedua, air sudah mulai tidak pekat lagi. Proses itu diulang berkali-kali sampai airnya berubah warna menjadi jernih. Untuk air gambut yang hitam pekat, dibutuhkan waktu sekitar dua jam. Sedangkan kapasitas pengolahan mesin tersebut bisa mencapai 400 liter dalam waktu sejam.

Sutrisno mengatakan, setelah melalui proses penjerniha­n selama dua jam, air gambut yang semula hitam pekat sudah bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari. Misalnya mandi, mencuci, atau memasak. Pada tahap ini, air gambut yang semula tidak bermanfaat, bahkan bisa menimbulka­n masalah, sudah dapat dimanfaatk­an. ”Tapi belum bisa untuk diminum langsung,” ucapnya.

Untuk bisa menjadi air layak minum, masih dibutuhkan satu proses lagi yang disebut reverse osmosis (RO). Pada sistem tersebut, air gambut yang sudah layak guna itu disaring kembali. Ada beberapa jenis saringan yang dipakai. Mulai saringan dari bahan berupa batu kerikil hingga saringan berukuran mikron. Dengan saringan itu, sudah tidak ada mikroorgan­isme yang bisa lolos.

Menurut Sutrisno, jika perangkatn­ya itu diproduksi masal, harga satu unitnya bisa setara dengan rumah tipe standar di kawasan Bogor. Yakni Rp 300 juta sampai Rp 400 juta. Tetapi, harga tersebut bisa ditekan jika alat diproduksi dalam jumlah banyak. Kemudian, ada spesifikas­i perangkatn­ya yang dikurangi. Dia menegaskan, angka Rp 300 sampai 400 juta itu digunakan untuk membangun peranti standar penelitian yang benarbenar harus sempurna.

Tak berhenti di air gambut, Sutrisno kini sudah memikirkan rencana untuk membuat alat pengolah air laut agar layak pakai dan layak minum. Menurut dia, alat semacam itu pasti dibutuhkan masyarakat yang tinggal di daerah pesisir pantai. Sebab, selama ini air yang dikonsumsi masyarakat pesisir adalah air payau, yakni air tawar yang masih berasa asin. (*/c9/owi)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia