Reshuffle Bermotif Dendam Politik
TIDAK seperti biasanya, sinyal reshuffle kabinet dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) kali ini begitu lugas. Pada Kongres Ekonomi Umat yang diadakan MUI pada Sabtu (22/4), Jokowi menegaskan bahwa menteri yang gagal mencapai target akan diganti atau digeser. Presiden secara blak-blakan mencontohkan target sertifikasi tanah pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) sebanyak 5 juta pada tahun ini, 7 juta pada tahun depan, dan 9 juta pada 2019. ’’Jika (menteri) tak mampu mencapai target, pergantian atau pergeseran adalah jawabannya,’’ tegas Jokowi.
Anggota kabinet pun dibikin panas dingin dengan gertakan Jokowi tersebut. Jokowi kali ini memang tidak memainkan simbol lagi, tetapi benar-benar konkret. Ini bisa dimaklumi karena saat ini merupakan fase konsolidasi bagi Jokowi untuk membenahi kekuatan politiknya pasca kekalahan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada pilkada DKI. Seperti diketahui, Ahok mendapat dukungan dari sebagian parpol pro pemerintah.
PDIP selaku motor parpol pro pemerintah bersama Jokowi tentu mulai berhitung untuk mengevaluasi kekalahan menyakitkan tersebut. Minimal, peringatan adanya reshuffle tersebut ditujukan kepada sebagian parpol pro pemerintah ataupun menteri tertentu yang bermain dua kaki dengan berafiliasi ke pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Setidaknya ada beberapa menteri yang parpol maupun patronnya membelot dengan memberikan dukungan politik kepada lawan Ahok tersebut.
Publik tentu tidak berharap reshuffle kali ini bermotif dendam politik. Presiden harus tetap menggunakan instrumen kinerja untuk merombak kabinet sebagaimana reshuffle
reshuffle yang lalu. Publik pasti bertanya-tanya jika pertimbangan politik, khususnya pilkada DKI, menjadi alasan mengganti anggota kabinet. Reshuffle ’’tidak biasa” ini tentu lebih mengakomodasi kepentingan pembisik dari kelompok-kelompok di luar istana.
Kita berharap Jokowi pada pemerintahan tahun ketiga tetap berada pada rel profesionalitas dalam mengukur kinerja anak buahnya. Di luar pilkada DKI, sebenarnya ada banyak kinerja anggota kabinet yang patut dievaluasi. Sebut saja, sektor ekonomi berupa kenaikan harga-harga bahan pokok yang masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak terselesaikan. Selain itu, dua tahun penegakan hukum yang masih amburadul, bahkan disisipi banyak kepentingan politis. Presiden sepatutnya tidak ragu menyebut pembantunya di sektor hukum juga masuk daftar tunggu reshuffle.
Yang terpenting lagi, presiden tidak boleh tersandera parpol dalam mengukur kinerja kabinet. Apalagi menjadikan reshuffle sebagai alat untuk mendongkrak peluang elektoral pada pemilu mendatang. Kerja-kerja cerdas harus tetap dimainkan daripada sekadar pencitraan. Sekali lagi, jangan korbankan kepercayaan rakyat.