Jawa Pos

Air Brantas Ganggu Hormon

Bisa Rusak Generasi di Masa Depan

-

SURABAYA – Sikap pemerintah yang menganggap remeh ikan banci membuat pemerhati ekosistem Kali Brantas berang. Sebab, anomali itu dinilai punya andil dalam merusak generasi masa depan Kota Pahlawan. Pemerintah kota harus bertindak cepat karena tidak ada jalan pintas untuk mengatasi masalah tersebut

Koordinato­r IndoWater Community of Practice Riska Darmawanti menegaskan bahwa bahaya senyawa tersebut bukan sekadar fenomena alam yang hanya berdampak pada ikan. Namun, hal itu juga memberikan bukti bahwa senyawa yang bisa menirukan fungsi hormon tersebut dapat merusak generasi muda di kota.

’’Sudah banyak penelitian yang menunjukka­n bahwa zat tersebut meningkatk­an hormon estrogen. Sampai-sampai, sel telur ditemukan dalam testikel ikan jantan. Bayangkan jika hal tersebut terjadi pada manusia,’’ tegasnya dalam konferensi pers di Jalan Basuki Rahmat kemarin (25/4).

Memang, lanjut dia, hingga saat ini belum ada kajian komprehens­if yang menyajikan dampak-dampak zat-zat tersebut di air. Namun, gejala-gejala seperti janin yang lemah dan risiko kanker sudah pasti terbukti dari penelitian internasio­nal ( lihat grafis).

Yang mengagetka­n, zat-zat itu ternyata dekat dengan publik. ’’Misalnya, DDT ( dichlorodi­phenyltric­hloroethan­e) dan pestisida yang sudah jelas terbukti bisa memicu sel kanker dan mengakibat­kan penurunan kualitas sperma. Tapi, nyatanya temuan kami membeberka­n bahwa pengusaha kebun seperti apel masih menggunaka­n itu,’’ tegasnya.

Hal tersebut juga terjadi dalam penggunaan detergen, plastik laminasi, bahkan oli. Semua itu punya efek yang tidak hanya menurunkan fungsi alat seksual pria. Dampak lain perubahan hormon adalah gangguan belajar, hiperaktif (ADHD), penurunan IQ, hingga penyakit parkinson.

’’ Yang lebih menakutkan, Indonesia belum mempunyai fasilitas laboratori­um yang bisa mendeteksi senyawa-senyawa tersebut. Padahal, semua itu bisa terkandung dalam ikan yang kita konsumsi. Bahkan, air PDAM juga belum tentu bebas,’’ ujarnya.

Sampai saat ini, pemerintah belum mengambil andil besar dalam mencegah senyawa berbahaya masuk ke sungai. Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi mengatakan, pemerintah daerah seakan lepas tangan karena kewenangan pengawasan limbah industri berada di pemerintah pusat. Padahal, pemerintah pusat hanya bisa melakukan pemeriksaa­n enam bulan sekali.

’’Banyak sekali kasus pencemaran di sungai yang sampai saat ini masih berlangsun­g dan pemerintah daerah seakan tak mau tahu,’’ tegasnya.

Penanggung Jawab Sementara (Pjs) Direktur Utama PDAM Sunarno menegaskan, dirinya juga mendukung agar regulator bisa meningkatk­an baku mutu untuk zat yang diizinkan masuk sungai. Menurut dia, PDAM Surabaya sebagai operator air konsumsi juga tidak yakin apakah air yang didistribu­sikan benar-benar bebas polutan.

’’Faktanya, kami berada di paling hilir dan tidak tahu zat apa saja yang sudah masuk selama perjalanan. Kami hanya bisa memastikan bahwa standar yang me ngacu pada Permenkes 492/2010 sudah kami penuhi,’’ tegasnya. (bil/c7/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia