Menangis saat Bisa Tampil Bareng Ki Anom
Sejak diajak menonton pertunjukan wayang oleh ayahnya pada usia 4 tahun, Putra langsung kepincut. Dia terus menggali ilmu pewayangan. Tanpa guru atau dalang senior. Panduannya hanya video dan buku. Kini jalannya untuk menjadi dalang profesional sudah terb
PULUHAN siswa SDN Sepanjang II, Taman, tampak terpesona menyaksikan pertunjukan wayang ”dadakan” di sekolah mereka. Apalagi saat sang dalang yang mengenakan pakaian adat Jawa tersebut melempar dan menangkap wayang tokoh Gatotkaca dengan cekatan. Tepuk tangan langsung terdengar riuh.
Tak jarang, beberapa dialog yang terucap membuat para siswa yang menonton hanya bisa ndomblong tak paham. Sebab, bahasa yang digunakan tidak terlalu familier. Maklumlah, bahasa Jawanya sangat halus.
”Ini tadi saya latihan dengan menampilkan cerita Semar Mbabar Jati Diri,” ujar Erwan Putra Herdiyanto, sang dalang, selesai berlatih kemarin (25/4). Putra bukan ”orang luar”.Dia merupakan siswa SDN Sepanjang II, Taman.
Menurut anak kelahiran Sidoarjo, 29 Januari 2005, itu, Semar Mbabar Jati Diri membawa pesan positif. Terutama bagaimana pemahaman terhadap tujuan hidup. ”Ini termasuk cerita lakon pakem. Maksudnya, dari dulu ya begitu ceritanya. Tidak bisa diubah,” tutur putra pasangan Gembong Wiludi Herdiyanto dan Enik Purwati itu.
Putra menambahkan, cerita lakon pakem tersebut mengambil sumber langsung dari ”kepustakaan” wayang. Misalnya, lakon Barathayudha, Amartha Binangun, Rama Gandrung, dan Anoman Duta
Selain lakon pakem, ada lakon karangan. Yakni, lakon yang sama sekali lepas dari cerita wayang yang ada. Jadi, bebas berdasar improvisasi pendalang. ”Misalnya, saya menceritakan tokoh patih dari negeri antah berantah yang ingin melamar gadis pujaannya dari negeri lain,” terang Putra.
”Pakai lakon pakem itu lebih mudah. Mencocokkan dengan gamelannya juga lebih mudah. Kalau lakon karangan, kadang sulit karena penabuh gamelannya juga harus memadukan cerita dari dalang,” lanjutnya.
Meski baru duduk di kelas VI, Putra sudah menguasai banyak ilmu pewayangan. Misalnya, puluhan teknik sabet atau cara menggerakkan wayang. Menggerakkan tangan wayang, gerakan wayang saat bertarung, atau atraksi melempar wayang ke atas dan menangkapnya kembali merupakan beberapa keahlian yang dikuasainya. ”Banyak cerita yang bisa (saya mainkan, Red). Nggak menghitung, puluhan kayaknya,” ujar Putra.
Dia mengaku menaruh minat besar terhadap dunia pewayangan sejak kecil. ”Dari umur 4 tahun suka wayang,” katanya. Putra ingat saat pertama menonton pergelaran wayang bersama bapaknya di Wonokromo, Surabaya. Saat pertunjukan selesai, Putra menangis kencang. Rupanya, dia ingin menonton lagi.
”Setelah itu, saya sering tanya-tanya tentang wayang kepada bapak,” ujarnya. Setiap ada pertunjukan wayang, dia selalu bertanya nama tokoh wayang yang sedang dimainkan. ”Saya juga dikasih tahu, yang memainkan itu namanya dalang. Sejak saat itu, saya ingin jadi dalang internasional kalau besar nanti,” ungkapnya.
Melihat ketertarikan Putra, orang tuanya akhirnya membelikan wayang. Betapa girangnya Putra. Wayang pemberian orang tuanya itu menjadi teman bermain. Selain rajin menonton pertunjukan wayang di Kelurahan Sepanjang, Taman, dia kerap melihatnya melalui DVD dan YouTube. Tak puas, Putra membeli buku tentang wayang. Semua seluk-beluk wayang dia pelajari secara otodidak.
Ketertarikan Putra terhadap wayang itu akhirnya menarik perhatian Abdul Malik, guru olahraga di SDN Sepanjang II, Taman. ”Saat itu, kami duduk di bawah pohon di halaman sekolah. Saya minta dia (Putra) cerita semuanya,” ujar Malik.
Rasa kagum Malik muncul saat mendengar cerita Putra. Apalagi, Putra bisa praktik mendalang dengan sangat baik. Bahasa Jawa halusnya juga lancar. ”Saya saja sampai tidak paham beberapa cerita tentang wayang. Saya sempat bingung anak ini belajar dari mana,” ungkap Malik. Menurut Malik, Putra tergolong anak yang tidak terlalu menonjol di kelas. ”Tapi, kalau ngomong masalah wayang, bisa di luar kepala,” lanjutnya.
Walaupun terbilang sudah fasih mendalang dengan alat dan wayang seadanya, Putra belum pernah tampil di depan publik sama sekali. Malik berinisiatif untuk mengenalkan kemampuan Putra. Malik lantas mengambil banner bekas yang ada di sekolah. Banner tersebut dipasang di dinding kelas. Bagian belakang banner yang putih polos dipasang menghadap depan. ”Saya buat banner itu sebagai kelir (papan tampil wayang, Red). Saya juga berikan wayang ke Putra biar praktik di situ,” kata Malik.
Saat Putra sedang berlatih, Malik merekam semuanya. Rekaman tadi Malik sebarkan melalui media sosial. Termasuk grup para guru. Respons positif bermunculan. Banyak yang kagum. Ingin Putra semakin dikenal, Malik mencarikan informasi kompetisi dalang. ”Eh, kebetulan ada lomba dalang di Siedex (Sidoarjo Education Expo) 2016. Pihak sekolah mengikutkan Putra pada kompetisi itu,” bebernya.
Dukungan dari sekolah terus mengalir. Sayang, waktu persiapan Putra terbilang singkat. Yakni, empat hari menjelang kompetisi. Dalam waktu yang mepet, pihak sekolah mengajak Putra belajar langsung dari Ki Rahmad Hadicarito, salah seorang dalang dari Wonoayu.
”Sempat pesimistis. Tapi, ternyata saat kompetisi pada 26 Oktober 2016 itu, Putra berhasil menyabet juara (peringkat) ketiga. Dia satu-satunya juara yang dari SD. Juara satu dan (peringkat) duanya dari SMP,” timpal Kepala SDN Sepanjang II Nistyowati.
Sejak saat itu, Putra rutin berlatih ke Wonoayu setiap Sabtu dan Minggu. Prestasinya saat di Siedex ternyata menarik perhatian Pemkab Sidoarjo untuk mengundang Putra tampil mendalang bersama Ki Anom Suroto dalam peringatan HUT Ke-158 Sidoarjo di Pendapa Delta Wibawa pada 17 Februari lalu. Mereka tampil di hadapan Bupati Sidoarjo Saiful Ilah.
”Saya senang sekali. Saya sampai nangis karena bisa bertemu idola saya. Sebelumnya, hanya bisa melihat lewat video,” ujar Putra. Dia semakin bangga saat penampilannya mendapatkan pujian dari idolanya tersebut. ”Berulang kali bilang sip, sip, bagus,” kata Putra menirukan Ki Anom Suroto. Dalang favoritnya itu juga mengundang Putra untuk datang dan belajar mendalang di kediamannya di Solo kapan pun.
”Tapi, belum kesampaian ke sana sampai sekarang,” ujar Putra. ”Latihannya sekarang setiap hari masih di rumah dan ke rumah Ki Rahmad saat akhir pekan,” imbuhnya.
Kini, Putra memiliki 12 wayang kulit dan kelir sendiri di rumahnya. Dia juga sudah berkali-kali nyantrik (duduk di samping dalang untuk membantu menyiapkan wayang dan memberikan kepada dalang saat pergelaran wayang). Baik saat pentas di kawasan Sidoarjo maupun Pasuruan. ” Nyantrik saat Ki Rahmad tampil,” ujarnya.
Saat kembali memainkan wayangnya, Gembong, sang ayah, datang menjemput. Saat melihat Putra sedang memegang wayang, Gembong langsung menebak buah hatinya itu pasti sudah bercerita banyak tentang wayang. ”Saya sendiri masih heran kok anak ini bisa sampai begitu pahamnya tentang wayang. Diajari sedikit langsung nyantol,” ujar Gembong, lantas tersenyum. (*/c6/pri)