Pengantin Kudu Iso Malih
Rias Paes Ageng Jogjakarta
SURABAYA – Sama teknik, alat, dan bahan belum tentu menghasilkan riasan yang sama. Perias pengantin tradisional dituntut memiliki pengetahuan lebih, tidak hanya mendandani mempelai. Perias harus tahu dan paham betul tata cara upacara pernikahan dan makna setiap bagian yang dikenakan pengantin. Salah satu yang paling populer adalah tata rias paes ageng dari Jogjakarta.
Memang, tata rias tersebut mengandung banyak simbol. Makin berkembangnya zaman, riasan tradisional mulai berevolusi menyesuaikan selera pasar. Meski demikian, modifikasi riasan tidak boleh lebih dari 40 persen dari keseluruhan penampilan pengantin. Itulah yang dijabarkan pada Seminar dan Lomba Make-up Pengantin Festival Busana Kebaya 2017 kemarin (25/4). Sebagai pembicara, hadir perias senior Bawoek Sumiati.
Sebagai perias senior, perempuan 79 tahun tersebut sudah melanglang buana merias dan menjadi guru perias di berbagai daerah. Pengalaman sebagai salah seorang perias Keraton Jogjakarta membuatnya hafal di luar kepala tentang pakem dan teknik rias.
’’Saya sudah merias GBPH Prabukusuma, GBPH Joyokusumo, KGPH Hadiwinoto, dan 12 putri kerajaan. Terakhir, Gusti Reni (Gusti Raden Ajeng Nurastuti Wijareni, Red), putri bungsu Sri Sultan Hamengkubuwono X,’’ paparnya di Trillium Ballroom.
Dulu paes ageng hanya boleh digunakan untuk pernikahan keraton. Namun, sejak kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, paes ageng boleh dipakai pada pernikahan masyarakat umum. Tata rias itu pun hingga kini berkembang dan makin diminati.
Paes ageng disandingkan dengan tata busana dodotan. Segala aksesori yang digunakan pengantin dari ujung kepala hingga ujung kaki memiliki makna. Pakem tersebut dipegang teguh oleh Bawoek. ’’Semua ada panduannya di buku tata rias, ciptaan Ibu Marmin Sarjono,’’ katanya.
Menurut perempuan kelahiran Jakarta tersebut, banyak orang yang penasaran sekaligus mengalami kesulitan saat merias menggunakan paes ageng. ’’Itu istimewanya. Pengantin yang dirias kudu iso malih (harus bisa berubah/ manglingi),’’ tuturnya.
Sambil mempraktikkan, Bawoek menerangkan satu per satu teknik dan pakem riasan. Rambut disanggul ke atas dan dibungkus menggunakan anyaman bunga melati dan daun pandan. Lalu, diselipkan lima cunduk mentul. Bawoek juga menyematkan anyaman daun berbentuk belalai gajah di bawah sanggul.
Tata rias pengantin jenis itu harus wanda luruh. Yakni, arah paes atau riasan rambut harus ke ujung hidung. Hal tersebut menyiratkan makna semeleh marang Gusti. Selain itu, godek dibentuk menyerupai mangot atau pisau tradisional untuk mencungkil kelapa. Telinga pengantin dihias dengan daun pepaya dan prodo emas. Sementara itu, pengantin pria mengenakan kuluk matak atau topi pengantin.
Acara tersebut diselenggarakan Asosiasi Ahli Perias Pengantin Modifikasi dan Modern Indonesia atau dikenal dengan Katalia DPD Jawa Timur. ’’Kami rutin menggelar acara dengan konsep yang berbeda setiap tahun,’’ jelas Ketua Katalia DPD Jawa Timur Suprihatin Slamet Wartono. (esa/c14/jan)