Tagih Surpres RUU Kekerasan Seksual
JAKARTA – Pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang menjadi inisiatif DPR saat ini mandek. Sejak ditetapkan di paripurna DPR pada 6 April lalu, pihak pemerintah tidak kunjung mengirim wakil menterinya untuk membahas RUU PKS. Mengingat urgensi dari RUU PKS, anggota Fraksi PDIP Rieke Diah Pitaloka mendesak pemerintah mengirimkan surat presiden agar pembahasan RUU tersebut bisa segera dilakukan.
Permintaan itu dilontarkan Rieke dalam keterangan bersama Ketua Komnas Perempuan Azriana dan komisioner Komnas HAM Siti Noor Laila di gedung parlemen, Jakarta, kemarin (2/6). Rieke menyatakan, sejak disahkan 6 April di paripurna, tanggal itu juga pimpinan DPR mengirimkan surat meminta pembahasan RUU PKS. ’’Dalam daftar terima, surat pimpinan DPR diterima pada 7 April di pemerintah,’’ kata Rieke.
Sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, presiden wajib mengirim menteri sebagai wakil untuk membahas sebuah RUU. Batas 60 hari itu, kata Rieke, tinggal menghitung hari. ’’Presiden harus mengirim menteri untuk membahas RUU PKS pada 6 Juni nanti, tepat pada hari lahir Bung Karno,’’ kata Rieke.
Azriana menambahkan, urgensi RUU PKS saat ini sudah masuk tahap darurat. Sebab, dari data yang dihimpun Komnas Perempuan sejak 2013, setiap 2 jam ada perempuan di Indonesia yang mengalami kekerasan seksual. Hal itu yang membuat Komnas Perempuan melakukan kajian RUU dan Naskah Akademik terkait RUU PKS.
Hal yang terpenting sekarang, kata Azriana, ialah mengawal isi RUU PKS. Menurut dia, kekerasan seksual harus dilihat dari kacamata relasi gender antara lelaki dan perempuan sehingga RUU PKS lebih condong untuk perlindungan perempuan dan anak. ’’Kami sering mendengar pernyataan terkait kecenderungan RUU PKS bahwa lelaki juga mengalami kekerasan seksual. Tetapi, pelakunya juga lelaki, bukan perempuan,’’ jelasnya.
Azriana melanjutkan, Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan pandangan terkait dengan RUU PKS. Presiden meminta pasal terkait dengan pemulihan korban tidak dihilangkan. Itulah yang, menurut Komnas Perempuan, perlu diingatkan kepada pemerintah. (bay/c4/fat)