Jangan Berhenti sebagai Slogan P
ANCASILA tidak lahir dari ruang kosong. Bung Karno tidak menggagas ide besar itu hanya dari ruang bacaan tertutup atau dalam diskusi terbatas. Pancasila lahir dari leburnya Bung Karno dalam kehidupan keseharian. Bertemu orangorang dari berbagai lapisan, berbincang dan mendengarkan mereka, serta berorganisasi.
Dari ruang sehari- hari itu, Bung Karno menyesap karakter bangsa ini. Lalu merumuskan apa itu keadilan, kesejahteraan, dan kesetaraan.
Jadi, Pancasila merupakan manifestasi jiwa bangsa ini. Pandangan hidup. Kalau kemudian belakangan ada indikasi telah ditinggalkan atau diabaikan, sepatutnyalah kita berkaca dan bertanya. Sebab, berarti ada yang salah dengan kita sebagai bangsa.
Mengapa tenggang rasa, misalnya, yang dulu jadi bagian dari keseharian kita serasa barang langka belakangan? Mengapa pula, contoh lainnya, kita jadi demikian gampang menghardik kala saling berbeda pendapat?
Barangkali, merebaknya intoleransi atau persekusi akhir-akhir ini juga tak luput dari lemahnya penegakan hukum. Ada pembiaran terhadap aksi sebagian atau sekelompok orang yang jelas-jelas bertentangan dengan kandungan Pancasila.
Karena itu, upaya pemerintah untuk mengampanyekan ”Saya Indonesia, Saya Pancasila” pada akhirnya tak akan banyak membantu kalau tak disertai langkah konkret. Entah itu dalam ketegasan penegakan hukum. Atau bagaimana para pemimpin di atas memberi contoh dalam keseharian mereka.
Kalau tidak, hanya akan berhenti sebagai slogan. Perlu diingat, generasi kelahiran 1970-an dan 1980-an negara ini adalah produk penataran P4 yang dihelat demikian masif di era Orde Baru. Tapi, apa yang terjadi kini? Kita justru merasa Pancasila semakin ditinggalkan.
Jadi, ada yang salah dalam pemasyarakatan Pancasila di era itu. Dan jangan sampai kita mengulanginya sekarang. (*)