Hadirkan Putri BI Jadi Saksi Sidang
Jaksa Mulai Dalami Perkara TPPU
SIDOARJO – Saksi-saksi dihadirkan untuk mengungkap praktik gratifikasi yang dilakukan Wali Kota (nonaktif ) Madiun Bambang Irianto (BI). Total, ada 12 saksi yang dihadirkan JPU dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kemarin yang jadi saksi adalah putri BI, Bovie Irlisa. Dia didatangkan JPU untuk mengklarifikasi pembelian beberapa mobil dan ruko. ’’Saya pernah menitipkan uang dan 10 kilogram emas kepada orang tua saya,’’ ujar Bovie ketika ditanya JPU dari mana uang untuk membeli Jeep Wrangler dan Mini Coopernya dalam sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya di Sidoarjo kemarin.
Termasuk dalam pembelian ruko di beberapa tempat. Salah satunya, di kompleks Sun City Mall. Ruko itu dibeli seharga Rp 760 juta. Dibayar tunai oleh istri BI, E. Suliestyawati. ’’Sampai sekarang, masih kosong. Belum ditempati,’’ terang Bovie.
Selanjutnya, M. Noviansyah (biro jasa balik nama mobil), Bambang Asaf (pengusaha percetakan), dan Kusnadi Wirjairja Atmadja (mantan Dirut PT Setia Utama Motosport) didatangkan karena kapasitasnya sebagai penjual mobil kepada BI. Mobil milik Bambang yang beralih kepemilikan kepada BI adalah Jeep Hummer dan Mini Cooper.
’’Saya tidak bisa membayar angsuran sehingga menjualnya kepada BI melalui Ferry,’’ ujarnya. Bambang mengenal BI sejak 2010. Mereka semakin akrab karena sama-sama penghobi mobil.
Sementara itu, Kusnadi pernah bekerja di sebuah showroom di Jakarta. Pada 2009, dia mendapatkan pesanan Jeep Wrangler dari Bovie. Mobil seharga Rp 790 juta tersebut dibayar lunas. ’’Saat itu permintaannya dikirim ke rumah dinas wali kota Madiun,’’ terang Kusnadi.
Ada juga tiga saksi yang pernah bekerja sama dengan anak BI lainnya, Bonie Laksmana. Mereka adalah Hartoto dan Thoriq Hardono (bisnis alat berat) serta Henri Erwanto (bisnis tebu). Baik Hartoto maupun Thoriq pernah diajak Bonie untuk berbisnis alat berat.
Hartoto mengaku, pada 2013 dirinya memberikan modal Rp 1,5 miliar untuk membeli tiga alat berat. ’’Beli bekas tambang di Kalimantan,’’ tutur Hartoto.
Alat berat tersebut disewakan untuk tambang pasir di daerah Kediri-Blitar. Namun, karena penambangannya ilegal, bisnis itu sempat mandek. Tiga ekskavator pun dijual. ’’Beberapa bulan kemudian, saya belikan tiga ekskavator baru,’’ lanjut Hartoto.
Nah, usahanya pun lancar. Bahkan, dia meminta tambahan modal lagi kepada Bonie untuk membeli alat pencuci pasir dan pemecah batu. Bisnis tersebut berlangsung selama tiga tahun. Dari periode itu, keuntungannya mencapai Rp 4 miliar. ’’Rp 3 miliar adalah keuntungan untuk Bonie, sisanya untuk saya,’’ terangnya.
Berbeda lagi dengan Henri. Bonie menyertakan modalnya untuk berbisnis tebu. Totalnya cukup besar, yakni sekitar Rp 17 miliar. Perinciannya, Rp 8 miliar untuk tebu giling dan sisanya untuk bibit. ’’Menurut perhitungan, seharusnya nilai tersebut bisa menjadi Rp 65 miliar,’’ jelasnya.
Sementara itu, JPU Fitroh Rohcahyanto menyebutkan, bisnis yang dijalankan Bonie janggal. Sebab, ungkap dia, Bonie tidak pernah mengambil modalnya atau keuntungannya dalam beberapa tahun. Dengan begitu, uangnya mengendap di orang lain. ’’Modalnya belum kembali, tapi terus ditambahi,’’ ucapnya.
Nah, praktik tersebut diduga untuk menyembunyikan uang hasil gratifikasi yang dibuktikan di persidangan sebelumnya. ’’Kemarin kami buktikan ada uang gratifikasi Rp 55 miliar,’’ jelasnya.
Kuasa hukum terdakwa, Indra Priuangkasa, menyesalkan langkah penyidik KPK. Menurut dia, penyidik kurang cermat dalam menyita harta milik BI. Semestinya, sebelum melakukan penyitaan, harus dipastikan dulu dari mana uangnya berasal.
Indra mencontohkan pembelian alat berat. Menurut dia, uang itu murni dari bisnis yang terus berkembang. ’’ Kan dari modal awal, lalu diputar dan keuntungannya jadi modal tambahan,’’ kilahnya.
Juga mengenai pembelian mobil yang dilakukan Bovie. Uangnya berasal dari penjualan emas yang dimiliki keluarganya. (aji/c22/diq)