Dianggap Bertentangan dengan Semangat Otonomi Kampus
Intervensi Presiden dalam Pemilihan Rektor PTN
JAKARTA – Wacana pelibatan presiden dalam pemilihan rektor perguruan tinggi negeri (PTN) terus menggelinding. Sejumlah kalangan menilai intervensi presiden itu bertentangan dengan semangat otonomi perguruan tinggi. Porsi suara menteri riset, teknologi, dan pendidikan tinggi (Menristekdikti) sebesar 35 persen selama ini dinilai sudah cukup mewakili pemerintah pusat.
Wacana pelibatan presiden dalam pemilihan rektor PTN kali pertama diembuskan Mendagri Tjahjo Kumolo. Dia menyampaikan hal itu di hadapan puluhan rektor dalam upacara Peringatan Hari Kelahiran Pancasila Kamis (1/6). Menristekdikti Mohamad Nasir belum bersedia berkomentar soal pelibatan presiden tersebut. Dia masih akan menemui Tjahjo untuk berdiskusi.
Aturan pemilihan rektor selama ini tertuang dalam Permenristekdikti No 19/2017. Dalam peraturan tersebut, tidak ada klausul bahwa penetapan rektor memerlukan pertimbangan presiden. Klausul yang ada, Menristekdikti memiliki 35 persen suara dalam pemilihan rektor.
Kepala Biro Kerja Sama dan Komunikasi Publik Kemenristekdikti Nada Darmiyanti Sriwijaningrum menyatakan bahwa belum ada komentar resmi dari Kemenristekdikti. ’’Sampai ada pertemuan resmi antara Menristekdikti dan Mendagri untuk pembahasan lebih lanjut,’’ ujarnya di Jakarta kemarin (2/6). Dia berharap isu tersebut dijelaskan Kemendagri selaku pihak yang kali pertama menyampaikannya ke publik.
Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI) Herry Suhardiyanto mengungkapkan, selama ini pemilihan rektor di tingkat kampus berjalan sampai ditetapkannya tiga nama calon, kemudian dibawa ke Kemenristekdikti. ’’Menristekdikti memiliki suara 35 persen,’’ katanya.
Rektor IPB itu menjelaskan, dalam menentukan suaranya, Menristekdikti berkonsultasi dengan presiden. Menurut dia, dalam kondisi tertentu, Menristekdikti perlu berkonsultasi dengan presiden dalam pemilihan rektor PTN. ’’ Tetapi, konsultasi itu tidak untuk semua PTN,’’ paparnya.
Dia menuturkan, daripada membuat aturan baru soal pemilihan rektor yang berpotensi merepotkan presiden, lebih baik masalah perguruan tinggi yang ada diselesaikan. Herry mengungkapkan, sebaiknya dicari substansi masalah yang muncul saat ini, yakni terkait dengan ideologi yang menyimpang dari Pancasila. ’’Kemudian, dicari solusi yang efektif dan substantif ketimbang solusi yang prosedural,’’ tegasnya.
Pengamat pendidikan tinggi dari Universitas Paramadina Totok Amin Soefijanto menjelaskan, intervensi presiden yang berlebihan dalam pemilihan rektor bertentangan dengan semangat otonomi kampus. ’’Jelas menjadi sebuah praktik yang tidak umum,’’ ujarnya.
Menurut dia, sudah ada pelimpahan dari pemerintah ke akademisi terkait dengan pengelolaan pendidikan tinggi. Karena itu, suara menteri atau pemerintah pusat dipatok 35 persen. Dia juga menjelaskan, tugas presiden akan semakin banyak ketika harus ikut cawe- cawe dalam penentuan rektor PTN.
Keterlibatan presiden dalam penetapan rektor jelas akan memunculkan efek domino. Misalnya, bakal banyak suara pertimbangan yang masuk ke presiden. Suara-suara itu akan membuat pemilihan rektor bukan murni kegiatan akademik, tapi lebih condong menjadi agenda politik.
Totok mendukung penanganan bahaya ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Ideologi seperti itu tidak boleh berkembang di kampus. Apalagi sampai ada rektor yang memegang ideologi tersebut. Namun, untuk mengatasinya, tidak lantas presiden dilibatkan dalam pemilihan rektor. (wan/c5/agm)