Asilkan Karya Siap Jual
founder komunitas tersebut.
Warga Perumahan Sidokare Asri itu menuturkan, sebelum komunitas terbentuk, dia lebih dulu bergabung dengan Subletter alias Surabaya Lettering Community. Jarak tempat kumpul dengan anggota lain yang dianggap jauh dari tempat tinggalnya membuat Yuga berpikir untuk mendirikan komunitas serupa di Kota Delta.
’’Dari Sidoarjo ada dua orang. Saya dan Kresnayana,’’ kata pemuda yang tengah menempuh kuliah jurusan desain komunikasi visual di Sekolah Tinggi Teknik Surabaya. ’’Berdua, kami sepakat mendirikan komunitas sendiri. Apalagi, banyak teman yang berminat untuk bergabung,’’ tambahnya.
Nama KreaSidoarjo dipilih dengan alasan khusus. Mereka ingin memasukkan nama daerah dalam komunitasnya. Sebagaimana komunitas lettering pada umumnya. ’’Di Surakarta ada Surakarya. Kalau Salatiga namanya Salatypega,’’ ungkap Yuga.
Saat ini anggota KreaSidoarjo mencapai 25 orang. Setiap kumpulkumpul mereka selalu berlatih materi lettering yang berbeda. ’’Jadi, bukan kumpul-kumpul yang tidak menghasilkan. Di setiap kesempatan meet up semua anggota pasti punya karya yang dihasilkan,’’ ungkapnya.
Dia menjelaskan, ada perbedaan mendasar antara lettering dan kaligrafi. Meski keduanya sama-sama menjadi bagian dari tipografi. Dalam lettering, semua harus diawali dengan membuat sketsa. Berbeda dengan kaligrafi yang cenderung dibiarkan mengalir apa adanya.
Yuga menyebut pembuatan lettering tidak bisa dipisahkan dari sketsa. Ia berfungsi menjaga karakter konsep lettering yang tengah digarap. ’’Bisa diperbaiki kalau kurang puas dengan konsep awal,’’ paparnya.
Menurut dia, hasil dari lettering bisa diaplikasikan untuk beragam kepentingan. Misalnya, desain kaus dan logo perusahaan. Harga jualnya pun cukup tinggi. Bervariasi, bergantung tingkat kerumitan pembuatan. ’’Masalah harga, orang luar negeri lebih bisa mengapresiasi. Mereka berani bayar mahal,’’ ucapnya.
Agus Suryanto, salah seorang anggota komunitas, mengatakan bahwa minat terhadap lettering sangat tinggi di luar negeri. Tidak heran jika mereka berani membayar mahal. Berbeda dengan di Indonesia yang masih mengganggap lettering bukan pekerjaan sulit. ’’Harga luar negeri empat kali lipat lebih tinggi. Biasanya untuk desain T-shirt atau mural di kafe,’’ tuturnya. (*/c15/pri)