Punya Trik Gaet Anak Muda
Yaitu, mengajak para pelajar untuk mau salat Subuh berjamaah di masjid.
Azmi bercerita, awalnya kegiatan itu sebatas program sekolah. Namun, manfaatnya yang begitu besar membuat mereka berani mendeklarasikan kegiatan tersebut jadi sebuah gerakan. Namanya Gerakan Pelajar Subuh Berjamaah (GPSB). Azmi dipercaya sebagai ketuanya.
Kali pertama mengadakan GPSB, Azmi dan kawan-kawannya di IPM hanya mengajak sesama siswa di SMAM 10. ’’Ya, awalnya ngajak teman-teman yang dekat saja. Yang sudah akrab,’’ tutur salah seorang anggota GPSB, Affan Nur.
Nah, dari situlah ajakan mereka menular dari satu teman ke teman lainnya. ’’Akhirnya ada juga yang ikut dari sekolah-sekolah lain,’’ lanjutnya. Kebanyakan memang siswa- siswi dari sekolah Muhammadiyah, mulai SMP, SMA, hingga SMK.
Hingga Ramadan ini, sembilan masjid sudah disambangi anakanak GPSB. Masjid pertama mereka adalah Masjid At Dawah di Simokerto. Namun, mereka baru benarbenar resmi mendeklarasikan gerakan tersebut di masjid keempat, yakni Masjid Muhammad Cheng Ho. ’’Masjid Cheng Ho bersejarah dan merupakan simbol multikultural,’’ jelas Azmi.
Nah, di masjid berarsitektur Tiongkok itu, GPSB memecahkan rekor mereka sendiri. Mereka berhasil mengumpulkan kawan puluhan orang. Bahkan total 200 orang hadir dalam salat Subuh berjamaah tersebut.
Masjid yang mereka sambangi sebetulnya acak. Bergantung masjid mana yang sudah diajak berkomunikasi. Misalnya, untuk Masjid At Dawah Karang Pilang. Mereka bekerja sama dengan SMA Muhammadiyah 4 yang memang berlokasi di Karang Pilang.
Namun, sekarang mereka memang lebih banyak berjamaah di masjid yang besar, tetapi sepi. ’’Karena melihatnya sayang. Masjidnya besar, tapi yang salat sedikit,’’ tutur Azmi.
GPSB tidak cuma mengajak pelajar untuk subuhan bareng. Tetapi juga memberikan suntikan semangat bagi takmir masjid dan warga sekitar untuk meramaikan masjid di lingkungan mereka.
’’Kami membangun kerja sama dan komunikasi dengan takmir masjid itu supaya tidak hanya waktu kami datang masjidnya ramai,’’ jelas anggota yang lain, Prastata Ta’syah.
Memang, untuk satu masjid, GPSB hanya bertandang sekali. Selanjutnya menjadi tanggung jawab warga sekitar yang memiliki kesadaran untuk rutin salat Subuh berjamaah.
Bagaimana mengawasinya? ’’Nah, itu nanti kami pantau via aplikasi Telegram,’’ papar siswa yang akrab disapa Atta itu. Sebagai kaum muda, anak-anak GPSB tentu tidak melewatkan teknologi untuk memperkenalkan kegiatan mereka.
Rencananya, akun Telegram GPSB diluncurkan di tengah bulan suci, tepatnya 17 Juni. Dengan aplikasi tersebut, setiap anggota maupun peserta yang pernah mengikuti salat Subuh berjamaah bisa melaporkan presensinya. ’’Semacam laporan, hari ini sudah salat Subuh berjamaah di mana,’’ tambahnya.
Menumbuhkan semangat untuk salat Subuh berjamaah di kalangan pelajar memang tidak mudah. Apalagi, GPSB selalu diadakan pada Ahad. Sekali tiap dua pekan.
Anggota GPSB Amalia Zahrani menuturkan, kendala terbesar adalah pelaksanaan setelah malam minggu. ’’Biasanya kan anak-anak lebih suka ke mal, jalan-jalan waktu malam minggu. Akhirnya Minggu paginya susah bangun,’’ ucap gadis 17 tahun itu.
Pelajar cowok umumnya suka nongkrong semalaman. Entah cangkruk di warung kopi atau main game online. Untuk pe- rempuan, beda lagi persoalannya. Mereka yang perempuan tidak wajib menunaikan salat Subuh di masjid. Jadi, mengajak jamaah siswa perempuan lebih susah. ’’Ada yang nggak dibolehin orang tuanya juga,’’ lanjut Amalia.
Untuk menggaet anak-anak muda, anggota GPSB punya trik. Misalnya, untuk pelajar laki-laki. Mereka bakal ikut cangkruk semalam suntuk. ’’Ya, kita ikut nongkrong sama anak-anak di warung kopi supaya subuhnya bisa ajak mereka jamaah,’’ ujar Ahmad Reihan, kawan sekelas Atta.
Reihan mengatakan, capek pasti terasa ketika harus ikut bergadang. Paginya, dia dan teman-teman harus mengatur salat Subuh berjamaah. Itu pun biasanya lanjut ke car free day untuk event SMAM 10. ’’Kalau bisa, habis cangkruk ya tidur sebentar sebelum subuh,’’ tambahnya.
Untungnya, dari usaha itu, temanteman Reihan biasanya mau diajak ikut kegiatannya di masjid. Kalau perempuan, tidak seekstrem itu. Amalia menuturkan, dirinya dan teman-temannya yang perempuan di GPSB tidak terlalu ngoyo. ’’Kalau memang perlu sampai malam, ya menginap. Nggak cangkruk seperti anak cowok,’’ tuturnya.
Serunya, kadang bukan hanya pelajar atau orang dewasa yang ikut salat berjamaah. Ada juga anak-anak kecil yang turut menyemarakkan masjid ketika subuh. ’’Waktu itu di masjid daerah Simokerto juga. Banyak anak yang diajak orang tuanya,’’ cerita Azmi. Meski begitu, anak-anak yang ikut itu tidak ribut. Mereka malah mengikuti kultum selepas salat Subuh.
Memang, setiap selesai salat, jamaah yang hadir di GBSP bakal disuguhi kultum. Yang mengisi berbeda-beda. Bisa dari masjid setempat atau guru sekolah Azmi dan kawan-kawan. Topik yang dikhotbahkan pun beragam, tetapi selalu berkaitan dengan anak muda. ’’Misalnya, tentang kepribadian atau pergaulan sehari-hari,’’ jelas Azmi.
Temanya sengaja dipilih khas anak muda karena target jamaahnya memang pelajar. Bukan berarti orang tua yang ikut tidak bakal sesuai dengan isi khotbah. ’’Bisa saja orang tua menyampaikan ke si anak. Atau malah menyarankan mereka ikut GPSB sekalian,’’ lanjutnya.
Kegiatan itu memang dimulai dari lingkungan sekolah lebih dulu. Namun, dalam waktu singkat, dampaknya cukup luas bagi pelajar di Surabaya, terutama pelajar Muhammadiyah. ’’Tapi, kegiatan ini terbuka untuk siapa saja. Kami juga pernah mengajak temanteman dari NU,’’ tutur Azmi.
Muatan GPSB yang positif itu mendapat dukungan penuh dari guru-guru dan orang tua mereka. Amalia bercerita, orang tuanya sesekali menanyakan jalannya GPSB. ’’Kalau telat sedikit, pasti komentar, ’lho, katanya gerakan salat Subuh, kok baru mulai jam segini?’,’’ ujar Amalia saat menirukan kata-kata orang tuanya. Namun, bagi mereka, kalimatkalimat semacam itu menunjukkan perhatian orang tua pada kegiatan anaknya di luar sekolah.
Pada deklarasi GPSB, mereka tidak hanya mengundang orang tua dan guru. Tetapi juga beberapa tokoh penting. Antara lain, kepala Dinas Pendidikan Surabaya, pimpinan wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim, dan perwakilan MUI Surabaya. ’’Harapannya, gerakan ini juga bisa menular, menjadi ’virus’ kebaikan untuk pelajar lain di kota Surabaya,’’ lanjut Azmi.
Sekarang memang baru sembilan masjid yang mereka kunjungi. Sepuluh jika Masjid Jenderal Sudirman masuk hitungan. Rencananya, mereka mengadakan kegiatan lagi di masjid yang berlokasi di Jalan Dharmawangsa itu. ’’Nanti, 17 Juni, bersamaan dengan launching Telegram,’’ kata Affan. Namun, mereka ingin bisa hadir di seluruh masjid di Surabaya. Baik besar maupun kecil. Sepi ataupun ramai. ’’Untuk sementara, minimal satu kecamatan satu masjid,’’ papar Affan. (*/c15/dos)