Rangkul Generasi Muda Lestarikan Kain Batik
BANYAK warisan budaya nasional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, salah satunya batik. Batik Indonesia secara resmi diakui oleh UNESCO sebagai budaya tak benda warisan manusia pada 2009.
Daerah Istimewa Jogjakarta dianugerahi sebagai kota batik dunia oleh badan kerajinan dunia pada 2014. Terpilihnya Jogjakarta melalui seleksi ketat dari nilai budaya, pelestarian, lingkungan, ekonomi, kekinian, dan global. Daftar penghargaan internasional terus berlanjut dengan pesona keindahan kain batik yang menjadi salah satu warisan adiluhung.
Selain apresiasi dunia, berbagai pihak di negeri ini bahu-membahu merawat batik dari satu generasi ke generasi lain. Dimulai dari hal sederhana yaitu dengan memakai batik dalam kehidupan sehari-hari, seperti bekerja dan pergi ke pesta. Langkah yang ditempuh lebih lanjut, khususnya dalam bidang akademis, yaitu dibukanya jurusan batik di Universitas Pekalongan.
Berdasarkan data yang diungkapkan Rektor Universitas Pekalongan Suryani dalam forum Kafe BCA VI bertema Khasanah Batik Pesona Budaya tergambar kekhawatiran yang membutuhkan penanganan secepatnya. Yaitu, minimnya minat generasi muda Indonesia mendalami batik. ’’Kebanyakan mahasiswa berasal dari Malaysia, Brunei Darussalam, dan ada pula yang berasal dari Korea Selatan. Dari 20 mahasiswa, hanya 1-2 dari Indonesia. Alasan ketidaktertarikan anak negeri adalah dari kecil dan seharihari sudah tidak akrab dengan pekerjaan membatik,” tandas Suryani.
Faktor lain yang membuat generasi muda berpaling dari membatik adalah kemudahan mendapatkan uang dari pekerjaan dalam waktu singkat. Pembicara lain di forum tersebut, Direktur Edukasi & Ekonomi Kreatif Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf ) Poppy Savitri dan Founder Galeri Batik Jawa Indigo Nita Kenzo ikut menuturkan kekhawatiran yang sama. ’’Anak muda sekarang lebih senang bekerja jadi tenaga promosi suatu produk dalam waktu singkat dan langsung mengantongi honor yang besar,” tutur Poppy.
Terjadi pergeseran nilai ketekunan dan kesabaran dalam membatik yang mengendur di generasi penerus. ’’Sebenarnya, waktu dan proses yang panjang dalam membatik adalah nilai jual dan keunggulan kita. Di dalam sehelai kain batik tersimpan rasa, makna, jiwa, dan cinta para perajin. Keistimewaan tersebut yang sulit tertandingi dan menjadi identitas kearifan lokal ini,” ungkap Nita.
Berfokus membangun ekonomi kreatif sebagai tulang punggung perekonomian nasional, kain maupun produk batik menjadi komoditas yang patut diperhitungkan sebagai aset dan identitas bangsa Indonesia. Beragam inisiatif, seperti pembentukan ekosistem desa kreatif yang diusung Bekraf dan Desa Wisata Binaan BCA berkontribusi menyediakan wadah bagi peningkatan kualitas para perajin batik, kemajuan budaya, dan ekonomi masyarakat berbasis kearifan lokal.
’’Nilai filosofis yang tersirat dalam sehelai kain batik menjadikannya karya seni bernilai tinggi di pasaran. Aspek ini yang sebaiknya kita tonjolkan dalam membangun ekonomi kreatif di Indonesia. Tidak hanya menjual kain maupun produk batik yang bermutu tinggi, tetapi juga merepresentasikan jiwa dan identitas bangsa Indonesia,” tambah Jahja.
Salah satu kota yang tidak dapat dipisahkan dari eksistensi batik adalah Pekalongan. Dijuluki sebagai kota batik, Pekalongan memiliki Industri Kecil Menengah (IKM) batik kurang lebih 12.475 unit yang menyerap sekitar 88.670 tenaga kerja. ’’Untuk meningkatkan kualitas perajin batik di Pekalongan, kami meresmikan Kampung Batik Gemah Sumilir, Wiradesa, Pekalongan sebagai salah satu desa wisata binaan BCA. Kami bekerja sama dengan perajin batik di Pekalongan untuk memproduksi Batik Hoko BCA sebagai seragam yang dikenakan oleh lebih dari 23.000 karyawan BCA dari Sabang sampai Merauke,” jelas Jahja.
Di forum Kafe BCA VI tersebut, diluncurkan buku Batik Pekalongan: Dari Masa ke Masa yang ditulis secara apik oleh Budi Mulyawan dan didukung secara penuh oleh BCA. Buku ini diharapkan dapat meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap batik dan menjadi inspirasi bagi kemajuan teknik membatik di Indonesia. (xav)