Anak Tunagrahita Berhati Lembut
Menjadi guru bagi anakanak berkebutuhan khusus tentu bukan hal yang mudah. Namun, Nur Asseri Soliha menikmati profesinya sebagai guru pendamping khusus (GPK) di SDN Klampis Ngasem I.
DIGIGIT, dicakar, dipukul, dan dijambak sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Nur Asseri Soliha. Berbagai ”siksaan” itu didapatkan dari para murid di sekolah. Bukan murid biasa. Mereka adalah para peserta didik di kelas sumber SDN Klampis Ngasem I.
Siswa di kelas sumber berarti anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Ada penyandang tunagrahita, autisme, tunanetra, slow
learner, maupun down syndrome. Tak hanya itu, rata-rata mereka belum bisa baca tulis. ABK yang tidak memiliki masalah akademis atau dianggap mampu akan dipindahkan ke kelas reguler.
Nurish, sapaan akrab Nur Asseri Soliha, sudah sepuluh tahun berhadapan dengan siswa ABK. Bukan karena terpaksa. Namun, dia memang menyenangi pekerjaannya itu. Apalagi jika bertemu dengan siswa tunagrahita. Nurish paling senang memperoleh siswa dengan keistimewaan tersebut. ”Anak tunagrahita itu seperti bayi,” ujarnya.
Kecintaan terhadap anak-anak itu muncul sejak Nurish menempuh pendidikan sarjana di Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Sebagai mahasiswa pendidikan luar biasa (PLB), Nurish tentu pernah menjajal berhadapan dengan siswa dengan berbagai keistimewaan. Namun, siswa tunagrahita paling mencuri perhatiannya. ”Beda dengan autis. Tunagrahita tidak tantrum. Mereka juga punya hati yang lembut dan suka dimanja,” tuturnya.
Setelah menjadi GPK di sekolah negeri, Nurish tidak boleh pilih-pilih. Dia berusaha mencurahkan perhatiannya kepada semua siswa. Juga, dia harus menemukan metode yang tepat untuk mengajari para siswanya yang berbeda-beda itu.
Salah satu cara mengajar ABK, Nurish harus bersuara lantang agar fokus siswa hanya tertuju kepada dirinya. Kemudian, dia menyampaikan pelajaran dengan bercerita sesuai tema. Sebab, murid-muridnya suka diajak bercerita. Tidak hanya itu, Nurish juga menggambar untuk memvisualisasikan cerita tersebut agar siswa makin paham.
Biasanya anak-anak banyak bertanya setelah didongengi. Tak jarang pertanyaannya cukup sulit dan aneh-aneh. Kalau sudah begitu, Nurish mengeluarkan senjata andalannya. Yakni, sebuah gadget tablet untuk browsing. Kalau sudah ditemukan, jawabannya diberitahukan kepada siswa. ”Atau, saya bawa LCD. Jadi, anak-anak lebih gampang memperhatikan,” imbuhnya.
Berbeda halnya ketika ada siswa yang tantrum. Dibutuhkan penanganan khusus. Misalnya, salah seorang siswa autis yang suka mendengarkan musik. Ketika tantrum, Nurish mendekati anak itu dan menempelkan headset di telinganya. Satu untuk Nurish, satu untuk siswa tersebut. Headset mengalirkan musik dari handphone ke telinga bocah itu. Kalau sudah lebih tenang, kedua headset dipasangkan di telinga siswa tersebut. Kalau sudah senyum-senyum dan suasana hati siswa itu membaik, headset dilepas. (ant/c16/ nda)