Unilever Tanam Modal USD 500 Juta
JAKARTA – Pertumbuhan jumlah penduduk membuat pasar produk konsumer di Indonesia semakin cerah. Karena itu, PT Unilever Indonesia berencana menambah investasi USD 500 juta dalam lima tahun mendatang.
Investasi tersebut dibelanjakan untuk peningkatan kapasitas produksi sembilan pabrik di sejumlah daerah serta melanjutkan ekspansi ke kawasan industri Sei Mangkei, Sumatera Utara.
Governance and Corporate Affairs Director PT Unilever Indonesia Tbk Sancoyo Antarikso menyatakan, investasi tersebut berfokus pada dua segmen produk utama Unilever. Yakni, home and personal care serta food and refreshment.
Ekspansi perusahaan multinasional itu dilakukan karena optimistis pasar produk konsumer di Indonesia masih tumbuh. ’’Di sini banyak populasi muda. Soal penurunan di kuartal pertama, kami memang merasakan. Tapi, kami yakin itu hanya short term,’’ tuturnya di Kementerian Perdagangan kemarin (5/6).
Unilever tahun lalu mengoperasikan pabrik di Sei Mangkei. Pembangunan pabrik tersebut dirintis sejak tiga tahun lalu. Unilever berniat membangun sejumlah pabrik produk hilir di lokasi tersebut seperti sabun dan sampo. Perusahaan juga akan memiliki pabrik produk sawit terintegrasi di Sei Mangkei yang dioperasikan anak usahanya, PT Unilever Oleochemical Indonesia. Pabrik senilai Rp 2 triliun itu berkapasitas 200 ribu ton per tahun.
Pembangunan pabrik itu disebut sebagai tonggak penting bagi perusahaan dalam mencapai target menggunakan 100 persen minyak kelapa sawit dari sumber yang bersertifikasi dan dapat ditelusuri pada 2020. (agf/c15/noe)
PERTUMBUHAN ekonomi tahun ini diprediksi 5,1 persen lebih tinggi daripada tahun lalu. Tahun depan bahkan bisa sampai 6,1 persen. Bagaimana efeknya ke sektor perbankan?
Kalau ekonomi tumbuh lebih cepat, tentu kami lebih optimistis. Sebab, sektor riil dan sebagainya akan tumbuh lebih baik. Kami berharap kredit perbankan tumbuh serta DPK (dana pihak ketiga) dan lain-lain membaik. nya terutama di (
industri kita belum banyak keluar, ini yang harus kami tumbuhkan.
Bagaimana dampak kenaikan harga komoditas pada sektor perbankan?
Kalau CPO ( crude palm oil), kami sudah lama bergerak di situ. Kami wait and see di batu bara. Dari diskusi saya dengan pihak-pihak yang bergerak di pertambangan, harga komoditas itu akan terus naik, tapi memerlukan waktu lama. Kalau belahan dunia sudah bergerak ke renewable energy seperti Jepang yang mulai sedikit bahkan tidak menggunakan batu bara di sana, ya permintaan mengandalkan negara lain. Yang paling tinggi adalah India dan Tiongkok. Permintaan dari dalam negeri juga banyak. Apalagi, PLN terus membangun power plant. Nikel juga mulai bergerak. Kami ingin mencari pengusaha yang sudah lama di situ dan sudah punya captive market yang jelas. Setelah menorehkan prestasi pada laba dan pertumbuhan di BNI sebagai wakil direktur utama, Suprajarto pulang kandang ke BRI, bank yang dulu membesarkan karirnya. Berikut petikan wawancara wartawan Jawa Pos dengan Suprajarto.
BRI mencatat nett profit- nya yang tumbuh bagus di level 5 persen. Bagaimana proyeksinya sampai akhir tahun?
Kalau dari sisi kredit, saya optimistis antara 16–18 persen. Sebab, pertumbuhan hingga kuartal I lalu lebih dari 16 persen. Nah, itu yang agak problem di DPK ya karena agak ketat. Jadi, ya harapan kami itu pertumbuhan ekonomi sebenarnya karena banyak kredit modal kerja yang dimulai dari situ. Kalau ekonomi tumbuh, likuiditas akan longgar. Sebab, LDR ( loan to deposit ratio) kita agak mentok sekarang. Otomatis, saya agak sulit mengatur ekspansi kredit.
Sekarang saya berusaha mengembangkan tabungan dengan berbagai inovasi. Dari segi database, saya yakin database kami luar biasa. Tinggal kami olah sekarang agar kami bisa menggali celah-celah di masyarakat. Saya berharap bisa ada relaksasi lagi. Kami memberikan usul dana-dana di luar negeri yang offshore bisa diperhitungkan untuk LFR (loan to funding ratio).
Kalau bisa diperhitungkan dalam LFR, ya akan lebih longgar dan enak. Sebab, dari sisi kredit, permintaan masyarakat sih sebenarnya masih banyak, hampir di semua sektor. Apalagi, proyek infrastruktur kan jalan terus. Dengan GWM (giro wajib minimum)
likuiditas sebenarnya sudah terbantu lebih longgar. Harapan lain, mungkin dana-dana pemerintah bisa diefektifkan di perbankan nasional, terutama di bank Himbara (Himpunan Bank-Bank Milik Negara).
Pemerintah tengah gencar membangun infrastruktur dan membuka peluang kredit sindikasi. Bagaimana peran BRI?
Kami banyak ikut. Misalnya, tol, pelabuhan, bandara, dan lain-lain. Tapi, kembali lagi, sepanjang LDR seperti ini, kami agak sesak napas juga. Tapi, nanti kalau LDR sudah longgar tentu lebih baik. Sebab, sekarang yang sudah punya komitmen dan menunggu progress project kan juga banyak. Jadi, kami juga tidak bisa langsung ekspansi.
Saat ini semakin banyak bank yang tadinya berfokus ke korporasi merambah sektor mikro. Sebagai leader di sektor tersebut, apa pendapat anda?
Mikro itu market- nya luar biasa. Menurut AO (account officer) kami di daerah, belum ada kejenuhan dan potensinya masih besar. Ini yang mungkin dilirik bank lain. Mikro itulah yang paling memberikan kenyamanan untuk bank. Sebab, orang kecil takut nunggak dan margin- nya lumayan. Daripada ngasih (nasabah) yang gede, sekali nunggak NPL-nya ( non-performing loan) gede. Dulu kami saja yang ngerjain mikro. Sekarang persaingan luar biasa. (*/c23/sof)
Paramacitra Shabrina