Qatar dan Pecahnya Koalisi Negara Teluk
KAWASAN Timur Tengah kembali memanas. Situasi ini dipicu oleh pemutusan hubungan diplomatik antara Qatar dan negara-negara tetangganya di kawasan Timur Tengah. Diawali oleh Arab Saudi, Bahrain, dan Uni Emirates Arab, kemudian diikuti oleh Mesir, Bahrain, Yaman, Maldives, dan Libya (5/6). Mereka mengasingkan Qatar secara bertahap dan terkoordinasi dengan memblokade Qatar di darat, laut, dan udara.
Keputusan negara-negara Teluk yang tergabung dalam Gulf Cooperation Council untuk mengucilkan Qatar berdasar pada pertimbangan bahwa telah terjadi upaya sistematis dan terstruktur untuk mendukung kelompok teror dalam bentuk suplai dana dan pemberitaan yang masif oleh stasiun televisi Aljazeera terhadap kelompok yang menjadi oposan di negara-negara yang ikut memutus hubungan dengan Qatar. Negaranegara Teluk sepakat memberikan stigma ekstremis dan teroris kepada kelompok ideologis seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, Hamas di Palestina, diikuti dengan tuduhan dukungan terhadap jaringan Al Qaeda Al Nusra di Syria. Akumulasi kesalahan Qatar adalah ketika sebuah pernyataan sikap muncul di situs resmi pemerintah yang menunjukkan kedekatan Qatar dengan Iran dan Israel ( The Guardian, 7/6).
Lebih dari itu, sikap Presiden Amerika Donald Trump melalui kicauannya di Twitter membuat derita Qatar semakin dalam. Trump secara terbuka menunjuk hidung Qatar sebagai pihak yang terlibat langsung menyuplai dana bagi kelompok teror.
Situasi ini membuat Menteri Luar Negeri Qatar Muhammad At Thani merespons secara cepat dinamika yang berlangsung. Dia menyatakan bahwa keputusan negara-negara Teluk mengucilkan Qatar hanya didasarkan pada tuduhan dan misinformasi. Pesan yang disampaikan Menlu Qatar menunjukkan betapa khawatirnya negara ini dengan sikap negaranegara Teluk ( Aljazeera, 5/6).
Jika melihat rentetan peristiwa yang terjadi di Timur Tengah dalam dua bulan terakhir, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sikap negara-negara Teluk yang memboikot Qatar tidak lepas dari dukungan Washington. Kunjungan Trump ke Arab Saudi bulan lalu menjadi sinyalemen bahwa Gedung Putih menempatkan Arab Saudi sebagai mitra strategis dan prioritas di kawasan. Apalagi, isu utama yang dibahas pemimpin negara Teluk dan negara-negara muslim pada pertemuan dengan Trump adalah isu terorisme.
Namun, untuk isu pengucilan Qatar, bukan berarti Washington berjalan satu irama dengan negaranegara Teluk sebab antara Trump dan Menteri Pertahanan Amerika Serikat James Mattis justru menunjukkan sikap saling berlawanan. Pihak departemen pertahanan menunjukkan komitmen untuk tetap menjadikan Qatar sebagai mitra strategis karena faktanya Amerika memiliki pangkalan militer di kawasan Al Udeid dengan kapasitas 10.000 personel. Dampak Ekonomi Bagi Qatar, keputusan negara tetangga sudah tentu memiliki ekses negatif bagi ekonomi Qatar. Sebab, sebagai negara yang bergantung pada sektor energi dan jasa, Qatar memiliki ketergantungan pada negara di sekitarnya. Hal ini bisa dilihat dari sejak berlakunya kebijakan negara Teluk. Setelah efektif berlaku, maskapai milik pemerintah Qatar, Qatar Air Ways, langsung menutup rute penerbangan ke negara-negara yang terlibat perseteruan. Warga Qatar yang tinggal di negara-negara Teluk diminta kembali ke negara mereka, sementara di dalam negeri warga Qatar sempat dihinggapi kepanikan dengan mendatangi supermarket untuk belanja stok kebutuhan sebagai antisipasi jika situasi semakin memburuk.
Belum lagi bicara soal agenda besar Qatar pada 2022 selaku tuan rumah penyelenggaraan turnamen sepak bola dunia. Sejauh ini pemerintah Qatar telah menginvestasikan dana dalam jumlah sangat besar untuk membangun fasilitas pendukung ajang Piala Dunia. Jika krisis ini berlangsung lebih lama, dikhawatirkan konstruksi fasilitas pendukung turnamen mengalami keterlambatan karena ketiadaan suplai bahan bangunan dari Bahrain atau Arab Saudi.
Gagalnya Piala Dunia adalah mimpi buruk bagi Qatar karena sejauh ini pemerintah Qatar telah memproyeksikan membangun citra internasional lewat ajang olahraga terbesar sejagat tersebut. Dampak Politik dan Keamanan Dari sudut pandang pertahanan dan keamanan, Qatar bukanlah negara yang memiliki kemampuan militer memadai jika dibandingkan dengan negara tetangganya, sehingga sangat beralasan untuk memberi izin bagi Amerika membangun pangkalan militer di tanah mereka. Kerja sama dengan Turki pada 2014 juga berbicara soal penempatan personel militer Turki di tanah Qatar. Apalagi, setelah krisis ini parlemen Turki telah menyetujui paket undang-undang yang memungkinkan pengiriman pasukan dalam jumlah lebih besar ke Qatar ( Hurriyet Daily, 7/6).
Sebagian pihak melihat terkucilnya Qatar akan membuat negara ini tak berdaya. Namun, sebaliknya, jika Qatar dibiarkan berjalan sendiri, justru akan membuat peta politik di kawasan Teluk berubah total karena dengan kekuatan finansial yang dimiliki Qatar bisa mengubah haluan dengan memaksimalkan hubungan dengan Turki dan Israel dan bisa juga beralih haluan ke Iran. Sebuah kemungkinan yang bisa saja terjadi.
Semestinya, negara-negara Teluk memberi kesempatan bagi Qatar untuk melakukan klarifikasi dan revisi terhadap semua kebijakan yang mereka ambil selama ini. Kebijakan isolasionis hanya akan merobohkan bangunan kepercayaan antar sesama anggota negara-negara Teluk yang telah mereka bangun dalam 30 tahun terakhir. Padahal, kawasan ini masih belum benar-benar pulih dari ancaman distabilitas setelah Arab Spring memorak-porandakan bangunan stabilitas kawasan. (*)