Beda UKP Pancasila dengan BP7
PRESIDEN Joko Widodo ( Jokowi) secara resmi telah melantik para penggawa Unit Kerja Presiden untuk Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Yudi Latif yang menjadi kepala UKP-PIP menyatakan, lembaga tersebut berbeda dengan lembaga terkait Pancasila pada era Soeharto.
Pada era Orde Baru, Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) dan program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sebatas berorientasi pada penataranpenataran. Sedangkan lembaga UKP-PIP lebih pada dimensi horizontal yang lebih luas.
Menurut Azyumardi Azra (2004), Pancasila perlu dikukuhkan kembali dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat sekarang tak peduli lagi dengan ideologi bangsanya.
Hal itu juga merupakan sebentuk kerisauan terhadap peran Pancasila di kehidupan masyarakat Indonesia sekarang. Apalagi, para penulis seperti Daniel Bell (”The End of Ideology”) dan Francis Fukuyama (”The End of History”) memberikan sinyal pada ideologi-ideologi dunia seperti Pancasila bahwa abad ideologi telah berakhir karena yang memenanginya adalah ideologi liberal seperti yang berkembang di AS.
Sebelum mempertanyakan apakah Pancasila masih relevan atau apakah Pancasila perlu diperkuat, kiranya perlu mempertanyakan terlebih dulu tentang apakah Pancasila masih sesuai dengan semangat kemanusiaan Indonesia.
Dalam bukunya yang berjudul The German Ideology yang ditulis pada 1846, Marx dan Engels mengemukakan bahwa ideologi itu pada dasarnya adalah suatu kesadaran kemanusiaan yang lahir dan terbentuk karena adanya gesekan-gesekan kepentingan. Ideologi mesti mencerminkan dan harus relevan dengan kepentingan-kepentingan kelas sosial (Loomba, 33:2000).
Ketika dibenturkan dengan fenomena kehidupan kontemporer, misalnya dengan arus globalisasi, ideologi Pancasila dirasakan tak cukup lagi dapat mengakomodasi kepentingankepentingan masyarakat Indonesia. Globalisasi menciptakan narasi baru, di mana hubungan interpersonal itu kini menjadi lebih individualistis, mementingkan diri sendiri, cari selamat, dan sebagainya.
Ia juga menjadikan hubungan interpersonal itu kini tak dibatasi lagi oleh letak geografis. Hubungan tersebut dapat dilakukan lewat dunia maya, internet, telepon genggam, jaringan TV kabel, dan sebagainya. Pendeknya, fenomena globalisasi telah menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru, ”dunia terlepas dari kendalinya”, masyarakat dihimpun dalam sebuah global village (Giddens, 5:2002), lalu ia seakan-akan melunturkandanmenjungkirbalikkan peran ideologi-ideologi.
Sebagaimana semangat Pancasila tidak mencakup semangat globalisasi itu. Pancasila merupakan produk dari zaman ketika ia dibuat dulu, sedangkan globalisasi merupakan fenomena kontemporer yang beradaptasi dengan kita sekarang. Globalisasi tak diciptakan siapasiapa, tak diciptakan ”Timur atau Barat”, tapi ia dikehendaki bersamasama (Lafontaine, 16:1999).
Jelas semangat keduanya berbeda sekali. Karena itu, pertanyaan apakah Pancasila masih relevan dengan kepentingan manusia zaman kita sekarang ini tampaknya akan sulit menemukan relevansinya. Saat negara ini mempertahankan diri sebagai NKRI dengan dalih bahwa itu sebagai konsekuensi ideologi Pancasila, sesungguhnya mesti dipertanyakan ulang: apakah benar bangsa ini menginginkan bentuk NKRI itu?
Mengingat, misalnya, dalih seperti itu tak lebih karena penguasa (Soeharto) yang saat itu memiliki kepentingan, terutama kepentingan untuk mengeksploitasi kekayaan alam Nusantara. Sedangkan, misalnya, bangsa ini sesungguhnya relevan dengan bentuk negara federal seperti dulu digagas M. Hatta.
Kini kita harus berangkat dari pengalaman bangsa ”Eropa Timur” yang dulu berideologi komunis. Komunisme pada masanya menjadi haunt yang menyebar di hampir seluruh belahan Eropa. Sebab, asumsinya ideologi itu relevan dengan kepentingan masyarakat; di mana sebelumnya kaum proletar ditindas penguasa ekonomi, kapitalisme menjadi momok menakutkan, sehingga ideologi komunisme dijadikan instrumen perlawanan.
Namun, kini ideologi itu ditinggalkan sesudah ambruknya pada akhir abad ke-19. Masyarakat Eropa Timur meninggalkan komunisme karena ideologi tersebut sudah benar-benar tak mencerminkan kepentingan masyarakat. Para penguasa ekonomi, kaum kapitalis, telah ”memenuhi kewajibannya” dan kaum buruh telah ”mendapatkan hak-hak mereka”. Kenyataan itu jelas berbeda kontras dengan situasi Eropa sebelum komunisme dicetuskan Karl Marx pada abad ke18.Masyarakat Eropa kini berkiblat pada ideologi di mana ia dibentuk berdasar kebutuhan dan kepentingan masyarakatnya.
Kehidupan masyarakat Indonesia sekarang sangat cenderung pragmatis sebagai akibat dari persoalan gaya hidup globalisasi yang sudah merasuk dalam kesadaran pola hidup mereka. Dalam kategori itu masyarakat Indonesia lebih memilih hal-hal yang instan dan gaya hidup yang serba up-to-date: handphone, McDonald’s, Coca-Cola, internet, dan sebagainya ketimbang repotrepot berdiskusi apakah kebudayaan globalisasi itu cocok atau tidak.
Jika kebudayaan seperti itu masih terus menonjol dalam ruang kesadaran ideologis masyarakat, tampaknya akan sulit bagi bangsa ini mengembalikan identitas kebangsaan masyarakat itu sendiri. (*)