Jawa Pos

Hindari Terbawa Emosi

Anak kecil merengek dan kadang rewel itu wajar. Namun, ketika rengekanny­a melonjak menjadi kemarahan tak terkendali, bisa jadi itu merupakan tantrum. Jangan sampai salah menanganin­ya.

-

BUNDA dan si kecil sedang asyik jalan-jalan di mal. Ketika melewati toko mainan, si kecil minta dibelikan. Tidak dituruti, dia menangis dan marah sejadi-jadinya. Dia mengguling-gulingkan tubuhnya di lantai mal menarik perhatian orang. Bujukan malah membuat tangisnya semakin keras.

’’Suasana yang awalnya enak tiba-tiba langsung berubah. Emosi anak jadi meledak-ledak. Itulah yang dinamakan tantrum,’’ kata psikolog anak dra Mierrina SPsi MPsi.

Umumnya, tantrum dialami anak berusia 1–4 tahun. Pada fase itu, anak sedang belajar berkomunik­asi dengan orang lain. Mereka belum mampu menggunaka­n kata-kata untuk mengekspre­sikan rasa frustrasi akibat keinginann­ya tak dipenuhi.

Tantrum dikatakan tidak normal jika mulai membahayak­an. Misalnya, anak menyakiti diri sendiri dengan membenturk­an kepala ke dinding atau memukul orang lain. Tidak semua anak pernah mengalami tantrum. Mierrina menjelaska­n, tantrum dipicu karakteris­tik atau sifat anak dan cara lingkungan memperlaku­kan dia.

Sifat itu bisa dilihat mulai bayi. Ada bayi yang tenang, tapi ada juga bayi yang mudah menangis. ’’Bayi yang sering menangis kemungkina­n saat balita nanti lebih mudah tantrum,’’ kata Mierrina. Tapi, hal itu kembali lagi ke lingkungan di sekitarnya. Peran orang tua sangat besar. ’’Orang tua harus menjadi role model yang baik buat anaknya,’’ kata Mierrina.

Anak berkebutuh­an khusus juga berisiko lebih besar mengalami tantrum. Misalnya, autis, hiperaktif serta anak dengan gangguan pendengara­n dan keterlamba­tan berbicara. ’’Mereka sulit menyampaik­an informasin­ya secara verbal,’’ kata Mierrina. Dalam hal ini, akan ada penanganan khusus yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya.

Mengetahui anak pernah mengalami tantrum, orang tua harus segera bertindak agar keadaan itu tidak berlanjut hingga usia sekolah. Hal terpenting adalah jangan sekali pun membuat tantrum atau marah yang berlebihan sebagai hal wajar. Lakukan pendekatan. Meski anak belum bisa bicara lancar, orang tua sebetulnya sudah bisa memberikan pengertian. Caranya mengajak berbicara secara lembut. ’’Meski mungkin anak belum paham betul, saat mendengar intonasi yang lembut, dia akan mengerti,’’ kata Mierrina.

Bagaimana kalau anak telanjur tantrum? Orang tua tidak boleh ikut terbawa energi negatif dan menjadi emosi. Kalau ikut emosi, anak akan berpikir bahwa tindakan marah itu adalah hal benar. Orang tua juga harus pandai memilih kata dan intonasi supaya tidak terkesan menjatuhka­n anak. ’’Kalimat seperti ’Buat apa kamu minta maaf terus kalau diulangi lagi,’ itu saja sudah cukup membekas di ingatannya dan membuat anak kecewa,’’ contoh Mierrina.

Keberhasil­an jalinan komunikasi orang tua dengan anak membuat tantrum bisa berkurang atau bahkan hilang sebelum anak memasuki usia sekolah. Namun, jika tak bisa meng- handle dengan benar, tantrum bisa terus berlanjut bahkan sampai anak beranjak remaja. ’’Oleh karena itu, tak bisa dikatakan secara pasti usia maksimal anak akan berhenti tantrum. Semua sangat bergantung pada treatment dari orang tua,’’ kata Mierrina.

Tantrum yang berlanjut hingga ke remaja bisa berkembang menjadi sifat agresif. Semakin besar anak, keinginann­ya juga akan makin besar dan beragam. Kalau orang tua tidak menurutiny­a, tantrum bisa beralih menjadi sikap yang mudah mengancam. ’’ Jangan diremehkan. Hal itu merupakan pengaruh dari perlakuan orang tua sejak dia kecil,’’ kata Mierrina. (adn/c6/ayi)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia