Jawa Pos

Sudah Ikut Pameran di Tujuh Negara

Keterbatas­an fisik tidak menghalang­i Agus Yusuf untuk berkarya. Terlahir tanpa tangan dan hanya memiliki satu kaki, dia terus berlatih melukis. Mengandalk­an mulut dan kaki kirinya, dia mampu menciptaka­n lukisan-lukisan indah.

-

PEMANDANGA­N kurang lumrah terlihat saat Agus Yusuf sedang melukis. Gigi pria paro baya itu sengaja menggigit kuat kuas bergagang kayu. Kepalanya bergerak searah sapuan cat minyak yang diinginkan di atas kanvas. Posisi Agus layaknya ingin mencium permukaan kain kanvas itu tiada henti.

Ya, Agus terpaksa melukis dengan bantuan mulut dan satu kakinya karena sepasang tangannya (maaf) buntung. Setiap kali berpindah tempat, dia terpaksa berjingkat­jingkat. Agus tengah melukis pemandanga­n alam lengkap dengan air terjun. Kakinya lincah memencet cat minyak dari wadahnya ke palet.

Setelah itu ganti bulu kuas yang menari-nari dari ujung mulut Agus mengena ke kanvas. Tidak ada beda antara sapuan cat tersebut dengan hasil karya pelukis kebanyakan yang badannya normal. ”Ini Air Terjun Jumog di Jawa Tengah,” kata Agus.

Sebuah foto air terjun diletakkan bersanding dengan palet di samping easel (penyangga lukisan). Foto dan gambar di kanvas itu sungguh mirip. Gambar air yang mengalir dari dua air terjun, berpadu dengan hijau pohon dan bebatuan yang ditumbuhi lumut, tampak alami.

Agus cenderung menganut aliran naturalis. Sejumlah lukisan indah terpajang di rumahnya yang berada di Desa Sidomulyo, Sawahan, Kabupaten Madiun. Semuanya diciptakan dengan mulut dan satu kaki. ”Kondisi saya sudah seperti ini sejak lahir,” ungkap pria 51 tahun itu.

Agus sejak awal percaya, di balik keterbatas­an fisiknya, pasti ada kelebihan yang tersimpan. Dia bersekolah hingga lulus SMP bersama anak-anak normal lainnya. Saat masih berseragam dulu, Agus tidak pernah merasa minder. Dia bahkan sering menjadi bintang kelas. ”Saya dulu juga pernah juara lomba lukis,” ingatnya.

Melukis dengan menggunaka­n mulut, Agus kali pertama mengikuti lomba lukis saat duduk di kelas V SDN Sidomulyo II. Dia berurutan juara mulai perlombaan tingkat kecamatan hingga maju ke tingkat kabupaten. Tidak terkira senangnya ketika lukisan pemandanga­n itu mendapat apresiasi juri. ”Saya pilih gambar pohon beringin dari tiga tema yang ditentukan panitia,” kenangnya.

Sadar kodratnya sebagai lakilaki, Agus ingin bisa bekerja kendati dengan keterbatas­an fisik. ”Saya berharap bisa bekerja dan punya penghasila­n,” ujarnya.

Keberuntun­gan menghampir­i Agus pada 1988. Seorang tetangga datang bertamu sambil membawa majalah yang memuat berita tentang Associatio­n of Mouth and Foot Painting Artists (AMFPA) dari Swiss yang mencari orang yang bisa melukis dengan mulut. ”Saya kirim enam lukisan ukuran 20 x 30 sentimeter ke cabang yayasan itu di Jakarta,” ucapnya.

Agus mendapat panggilan setahun kemudian. Tim penyurvei yang datang langsung dari Swiss manggut-manggut melihat bakat pelukis berkebutuh­an khusus tersebut. Agus akhirnya resmi diterima sebagai student member AMFPA mulai September 1989. ”Senang bukan main. Apa yang saya inginkan mulai terwujud. Keterbatas­an fisik bukan alasan untuk tidak berkarya. Saya diundang ke Jakarta dan sempat bertemu Ibu Tien (Siti Hartinah Soeharto, Red),” paparnya.

Bermodal beasiswa dari AMFPA, Agus diminta mendalami ilmu seni rupa. Dosen jurusan seni dari Universita­s Negeri Surabaya (Unesa) dan Universita­s Sebelas Maret (UNS) Solo diminta datang ke rumah Agus untuk memberikan ilmu melukis. ”Saya diwajibkan mengirim tiga lukisan setiap bulan. Sebenarnya capek, tapi harus mau bekerja keras kalau ingin sukses,” tuturnya.

Dua dosen kampus negeri itu menilai lukisan Agus terus membaik dari waktu ke waktu. Statusnya meningkat menjadi associate member di AMFPA sejak 2013. Agus sering bepergian ke luar negeri berkat lukisan yang lahir dari mulutnya. Lukisan Agus layak bersanding dengan karya pelukis-pelukis difabel dari berbagai negara. Dia tercatat pernah ikut pameran di Taiwan, Hongkong, Thailand, Singapura, Malaysia, dan Austria. Paling akhir April lalu, ikut pameran di Spanyol. ”Istilahnya, dari pegawai magang, saya diangkat menjadi karyawan tetap di AMFPA,” terang suami Sri Rohmatiah itu.

Tanpa menyebut nominal yang didapat dari lukisan mulutnya, Agus merasa bersyukur kebutuhan keluargany­a selama ini tercukupi. (*/hw/c9/diq)

 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia