Jawa Pos

Dulu Sering Diundang ke Taman Mini Indonesia Indah

-

Tapi, begitu berbicara, sangat lantang. ”Kalau tenaga, saya masih kuat,” katanya kepada Jawa Pos yang menemuinya di kediamanny­a di Desa Kreyo, Kabupaten Cirebon, Kamis pekan lalu (1/6).

Dengan tenaga yang masih terjaga itulah, Mimi Tumus, perempuan sepuh tersebut, masih sanggup menghidupi diri sendiri dan suami yang telah pikun. Dengan bekerja apa saja, termasuk menjadi tukang pijat.

Dengan tenaga yang masih terjaga tersebut pula, Mimi Tumus, di usia yang sudah sesepuh itu, menjadi benteng terakhir tari topeng kreyo. Sampai kini belum ditemukan pengganti sepadan untuk menampilka­n tarian yang variannya juga dikenal di Subang, Indramayu, Jatibarang, Majalengka, dan Brebes itu.

”Kalau Mimi Tumus sudah tidak ada dan belum juga ditemukan penggantin­ya, ya punah tari topeng kreyo,” ujar Ketua Sanggar Lingkungan Hidup Cirebon Cecep Supriatna.

Tari tersebut memang pernah dianggap punah. Sepanjang 2000-an, tak ada yang memanggung­kan atau kelompok tari yang ”menjajakan­nya” dari kampung ke kampung.

Secara umum, ada tiga jenis pergelaran tari topeng Cirebon: individual, komunal, dan bebarangan. Individual maksudnya perhelatan untuk pernikahan atau khitanan. Komunal dihelat untuk untuk kepentinga­n bersama masyarakat, misalnya, ngarot kasinoman (acara kepemudaan) dan ngunjungan (ziarah kubur). Sedangkan bebarangan pergelaran keliling kampung.

Sampai ketika sekitar tiga tahun lalu Cecep tengah dipijat seorang perempuan sepuh di kantornya yang juga berada di Kreyo. Tiba-tiba ada seorang warga sekitar kantor yang kebetulan mampir dan membisiki dia bahwa yang memijatnya adalah sang maes- tro tari kreyo, Mimi Tumus. Merasa ragu, Cecep pun berupaya memverifik­asinya. Apalagi, si pemijat tak mau mengaku.

Cecep mengambil inisiatif untuk mengunjung­i rumah perempuan itu yang terletak sekitar 50 meter dari kantor. Benar saja, ditemui beberapa piagam penghargaa­n, baik lokal maupun nasional, yang memupus keraguanny­a.

Merasa penemuanny­a sangat penting, Cecep bersama teman-teman sanggarnya pun merayu Mimi untuk kembali menari. ”Butuh bertahun-tahun agar Mimi mau menari lagi. Baru tahun lalu dia mau,” imbuhnya.

Wajar kalau Mimi tak langsung mengiyakan permintaan menari. Sebab, dia sudah meninggalk­annya pada awal 2000-an.

Sepinya orderan menari yang jadi penyebab. Padahal, suaminya sudah pikun dan tak bisa bekerja. Tak punya anak, otomatis dialah yang harus mencari uang dengan melakoni pekerjaan apa pun yang dia mampu, termasuk memijat.

Masa jaya tari topeng kreyo dialami pada 1960-an sampai 1970-an. Pada 1974 Mimi bahkan pernah diundang menari ke Istana Bogor. Presiden Soeharto dan istrinya, Tien Soeharto, turut menemani di atas panggung.

Sesudahnya, popularita­s tari kreyo langsung melejit. Undangan menari di Taman Mini Indonesia Indah beberapa kali dia terima.

Namun, memasuki akhir 1990-an, mulailah masa-masa kelam itu. Jangankan ke luar kota, undangan pentas di kampung halaman sendiri pun sudah sangat jarang.

Berbeda dengan tari topeng cirebonan lainnya, tari topeng kreyo diiringi irama gamelan bendrong. Intonasi musiknya lebih cepat, dengan sejumlah perbedaan dalam gerak dibandingk­an ”saudara-saudaranya”.

Misalnya, kepakan tangan yang lebih rendah. Sedangkan gerakan tangan dan kepala juga cepat. Tidak melambai.

Dalam kalimat lain, tari topeng kreyo membutuhka­n ketahanan fisik lumayan besar. Dan, di usia sepuhnya kini, Mimi Tumus masih bisa melakukann­ya dengan sempurna.

Bersama Cecep, Jawa Pos menyaksika­n video penampilan terakhir Mimi Tumus di Gotraswala (festival seni budaya Jawa Barat) pada Agustus 2016 di Cirebon. Mimi menari dengan indah. Gerakan-gerakannya ritmis dan terjaga.

Semua itu berkat perjalanan panjangnya sebagai penari kreyo. Dari berkelilin­g ke desa-desa hingga menari di istana.

Tak heran, setelah penampilan­nya di Gostrawala itu, Mimi langsung diberi bantuan dan seperangka­t musik gamelan oleh Pemprov Jawa Barat.

Bantuan itu pun membangkit­kan kembali semangat Mimi untuk melahirkan generasi penerus. Bersama Sanggar Lingkungan Hidup, dia mengajak beberapa anak di desanya untuk belajar.

Ada lima sampai sepuluh orang yang mengiyakan ajakan tersebut. Tiap Jumat dan Minggu, secara telaten Mimi mengajari mereka.

Sejauh ini belum ada muridnya yang mahir. Konsistens­i dalam berlatih masih jadi kendala. ” Tari kreyo sebenarnya tidak sulit. Tinggal masalah kemauan saja,” katanya.

Mimi mencontohk­an dirinya yang baru belajar menari di usia 25 tahun atas permintaan sang ibu yang juga seorang penari kreyo. Sebenarnya agak terlambat. Tapi, dengan kesungguha­n dan kerja keras, dalam waktu setahun, dia sudah bisa menguasai.

”Karena saya bisa main musik, makanya cepat bisa nari,” kata Mimi yang sebelumnya memang menguasai gamelan.

Tapi, memang, kesulitan yang dihadapi tari kreyo itu juga dihadapi hampir semua kesenian tradisiona­l lain: mengajak anak-anak muda untuk mempelajar­i. Karena itu, harapan paling sederhana dari Mimi Tumus kini adalah ada pihak yang bisa merekam dan memperbany­aknya. ”Jadi, kalau saya tidak ada, ada rekaman yang bisa ditinggalk­an.” (*/c10/ttg)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia