Dirusak Media karena Terlalu Percaya Diri
Begitu hasil pemilu yang tidak menyenangkan bagi partainya diumumkan, May tahu dirinya harus menghadap Ratu Elizabeth II. Dia wajib meminta restu untuk membentuk pemerintahan baru. Sebab, rival-rival politiknya kompak menuntut dirinya mundur setelah partainya kehilangan 12 kursi dalam pemilu kali ini.
Dia bakal membentuk pemerintahan baru meski harus berkoalisi dengan partai lain. Yakni, Partai Serikat Demokrat/Democratic Unionist Party (DUP). Dengan tambahan 10 kursi dari DUP, May kini punya 328 kursi atau 2 kursi lebih banyak dari ambang batas mayoritas. ”PM sudah membicarakan rencana itu dengan saya pagi ini (kemarin, Red),” kata Ketua DUP Arlene Foster.
Berkoalisi dengan DUP bukanlah perkara mudah bagi Konservatif. Sebab, partai yang berbasis di Irlandia Utara itu berseberangan dengan May soal Uni Eropa (UE). DUP merupakan salah satu partai yang menentang prinsip radikal Konservatif terkait dengan British Exit alias Brexit. Soal perceraian Inggris dari UE, DUP malah lebih condong ke Partai Buruh. Tapi, Foster mengaku bakal membicarakan semua itu dengan May.
”Dua partai kami sudah bekerja sama selama bertahun-tahun dan itu memberi saya kepercayaan diri untuk membentuk pemerintahan demi kebaikan bangsa,” papar May tentang DUP.
Media Inggris menyebutkan, DUP hanya akan menjadi elemen pendukung dalam pemerintahan yang dibentuk May. Secara de facto, Konservatif dan DUP tidak akan membentuk pemerintahan koalisi.
Dalam waktu 10 hari, May bakal berhadapan dengan UE untuk mulai menegosiasikan Brexit. Sebelum itu, dia harus mempresentasikan pemerintahannya di hadapan parlemen yang baru untuk mendapatkan restu mereka pada 13 Mei.
Namun, tanpa mandat rakyat dan suara mayoritas di parlemen, perempuan 60 tahun itu bakal menghadapi banyak kesulitan untuk melakukan dua agenda pentingnya. ”Mandat yang diperjuangkan May justru membuat Konservatif kehilangan kursi, suara, dukungan, dan kepercayaan dari rakyat,” kritik Jeremy Corbyn, ketua Partai Buruh.
Pesaing utama May itu pun lantas mendesak penguasa Downing Street 10 tersebut segera meletakkan jabatannya. Sebab, dengan performa maksimal Buruh dalam pemilu 8 Juni, dia yakin mandat itu telah berpindah ke pundaknya.
Corbyn yang mengklaim sebagai pemenang sangat puas dengan kinerja partainya. Meski perolehannya lebih sedikit dari Konservatif, Buruh mendapat tambahan 29 kursi di House of Commons.
Jika May gagal mendapat mandat kepercayaan dari anggota parlemen yang bertemu 13 Juni mendatang, politikus 68 tahun itu bakal ketiban sampur untuk membentuk pemerintahan minoritas. Tentu saja lewat koalisi dengan partai-partai lain.
Hasil pemilu Inggris yang sama sekali tidak tergambar dalam polling itu menerbitkan kecemasan Eropa. Khususnya para petinggi UE yang sudah dibuat pusing dengan dukungan masyarakat Inggris terhadap Brexit.
”Lakukan yang terbaik untuk menghindari ketidaksepakatan karena tidak ada negosiasi,” tulis Donald Tusk, ketua dewan UE, di akun Twitter- nya.
Jika May gagal membentuk pemerintahan, Corbyn bakal duduk sebagai PM. Dia akan membentuk pemerintahan koalisi. Dan, dialah yang akan bernegosiasi dengan UE soal Brexit. Maka, seluruh agenda Brexit akan berubah. ”Hasil yang kita saksikan bersama malam ini adalah bentuk penolakan (rakyat) terhadap Brexit versi Theresa May. Kami akan kembali ke pasar tunggal,” kata Keir Starmer, petinggi Buruh.
Perbedaan prinsip May dan Corbyn itu membuat waswas negara-negara UE. Salah satunya Jerman. ” Yang kami butuhkan adalah pemerintahan yang solid dan punya kemampuan untuk bertindak. Tanpa itu, Brexit bakal menjadi malapetaka bagi kedua pihak,” ungkap Komisioner Anggaran UE Guenther Oettinger kepada Deutschlandfunk. Dia berharap pemerintahan baru segera terbentuk di Inggris.
Kemarin sebagian media Inggris merisak May gara-gara hasil pemilu yang membuat Konservatif kehilangan mayoritasnya di parlemen. The Sun, koran terlaris Inggris, menyebut May kalah taruhan. Sebab, dialah yang menggagas pemilu dini 8 Juni dan kini partainyalah yang harus menanggung akibatnya. ”Kacau,” tulis surat kabar itu di halaman depan.
May mencetuskan pemilu dini yang tiga tahun lebih cepat dari jadwal reguler setelah hanya setahun duduk di kursi PM. Sebagai pemimpin, dia merasa harus memenangkan mandat rakyat sebelum membawa Inggris keluar dari UE. Saat itu, dia sangat percaya diri bahwa Konservatif akan menang mutlak. Kini semuanya berbalik. (AFP/Reuters/BBC/cnn/hep/c5/any)