Yang Plural Tak Boleh Diseragamkan
SURABAYA – Antusiasme penonton teater terlihat dari tiket yang habis terjual. Teater yang diselenggarakan hari ini mencapai kapasitas maksimal Ciputra Hall-Permorming Arts Centre, yakni 700 kursi
Karena itu, panitia acara tidak membuka penjualan tiket di lokasi. Namun, penukaran bukti pembayaran dengan tiket masuk dibuka mulai pukul 09.00 hingga 12.00.
Remy Sylado, sosok penting di balik pementasan teater Kong, memang punya daya tarik tersendiri. Naskah cerita yang dibuat menjadi jembatan ilmu sejarah bagi para penonton. Riset dan pengalaman segunung tidak membuatnya berhenti menyebar ilmu. Sejarah di tangannya tidak lagi menjadi tumpukan buku usang dengan bahasa njlimet hingga membuat pembacanya jadi mules.
Teater menjadi jawaban kala banyak orang malas membaca,’’ ucapnya saat mengisi coaching clinic di Sekolah Ciputra kemarin (9/6).
Menurut pria yang menguasai lebih dari lima bahasa, termasuk Ibrani dan Yunani itu, menulis tentang sejarah merupakan suatu hal yang wajib. Saya terpanggil untuk menulis karena saya tahu buku sejarah di sekolah itu membosankan. Bisa juga penyampaiannya tidak menarik,’’ paparnya. Kecintaan dan rasa ingin tahu tentang sejarah menggugah Remy untuk menulis sejak SMP.
Satu jam diskusi dan mengenal Remy Sylado seolah sangat kurang. Berbagai pertanyaan terlontar dari para peserta yang terdiri atas siswa kelas IX dan XI Diploma Programe plus para guru bahasa Indonesia. Benang merah diskusi itu adalah Visualisasi Karya Sastra.
Satu per satu pertanyaan dijawab dengan lugas, tetapi sangat mengena. Remy juga memberikan referensi sesuai dengan pengalamannya melanglang ke berbagai negara, mempelajari bahasa, dan dihadapkan dengan ribuan budaya.
Dalam perbincangan itu, Remy juga menekankan pentingnya nilai kebangsaan, toleransi, dan kebinekaan. Sebab, Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda, tetapi tetap satu. Indo atau Endo artinya blasteran. Jadi, orang Indonesia itu blasteran dari berbagai bangsa,’’ tuturnya. Seluruh rakyat Indonesia harus menyadari bahwa mereka tidak lahir dari satu nenek moyang. Indonesia adalah bangsa plural. Lantas, mengapa agama saja harus diseragamkan?’’ tambahnya.
Salah satu tokoh yang ikut andil membawa bangsa Indonesia menjadi plural adalah Cheng Ho. Karena itu, pementasan teater Cheng Ho tentu akan menjadi angin segar bagi penonton. Terutama ilmu untuk generasi muda pemegang tonggak perjuangan. Bisa juga sebagai pelarian bagi orang yang tidak gemar membaca buku sejarah.
Bagaimana cara menghadirkan nyawa ke dalam novel?’’ tanya salah seorang peserta, Dara Larasati. Jawaban Remy adalah mencari sumber ilham. Sumber itu berada di kehidupan yang kasatmata.
Manusia yang tidak membaca sastra telah berinisiatif menjadi hewan. Kalimat itu didapat Remy dari sastrawan Tiongkok Lu Xin. Hingga sekarang, Remy selalu menekankan bahwa manusia tidak boleh hanya mencari sandang, pangan, dan papan. Mereka juga harus membaca.
Salah satu novel Remy berjudul Ca-bau-kan: Hanya Sebuah Dosa pernah dipentaskan murid sekolah Ciputra dalam sebuah drama kelas. Sutradara pementasan kala itu Dina Ariyani. Dia adalah guru bahasa Indonesia.
Dina mengambil cuplikan tokoh Tionghoa yang memiliki rasa nasionalis. Menurut dia, cuplikan itu adalah bagian yang paling menarik dan bisa dijadikan pembelajaran bagi siswa.
Menanggapi cerita tersebut, Remy mengaitkan dengan keadaan Jakarta saat ini. Dia mengambil contoh Gerakan Anti Cina. Menurut dia, gerakan tersebut terbentuk dari orang-orang yang tidak membaca sejarah.
Mereka tidak tahu kalau dulu ada dua tokoh Cina di Lasem yang ikut melawan Belanda. Justru dua orang Cina itu dikhianati Raja Kartasura. Raja membocorkan misi perlawanan ke Belanda,’’ paparnya. Dari peristiwa itu, jelas diterangkan bahwa Indonesia memang terdiri atas banyak golongan. Tidak semestinya perbedaan dianggap salah dan dipaksa menjadi sama. (esa/c15/dos)