Sampaikan Misi Perdamaian
SURABAYA – ’’Hatiku bisa keluar dari tanah airku, tapi tanah airku tak akan bisa keluar dari hatiku,’’ ucap Radhana dalam cuplikan dialog teater Sam Po Kong kemarin (10/6). Potret tentang keteguhan hati dan nasionalisme yang kuat tecermin dalam diri Radhana kala rajanya, Wikramawardhana, diselimuti keraguan.
Sutradara dan penulis naskah Remy Sylado membuktikan kepiawaiannya. Lewat pertunjukan teater Sam Po Kong, dia berhasil membuat penonton serius mengikuti alur cerita, lalu tertawa gara-gara dialog yang lucu, dan ikut bergoyang ketika pemain bernyanyi
Pesan tentang indahnya perbedaan juga tersampaikan. Penonton yang memenuhi venue Ciputra Hall-Performing Arts Centre kemarin membuktikan antusiasme terhadap pertunjukan seni.
Teater itu diadopsi dari novel karya Remy Sylado berjudul Sam Po Kong: Perjalanan Pertama. Yakni, kisah tentang Cheng Ho, laksamana asal Tiongkok yang datang ke Majapahit untuk bertemu Raja Wikramawardhana dengan membawa misi perdamaian. Cheng Ho, pemimpin armada laut terbesar itu, juga membawa lima penggawanya dari berbagai agama, yakni Islam, Tao, Buddha, dan Khonghucu.
Pertunjukan tersebut juga dihadiri perwakilan tokoh agama. Antara lain, Ketua Yayasan Vihara Buddhayana Surabaya Ing Wibisono, Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jatim H Nadjib Hamid, Sekretaris Keuskupan Surabaya Romo G. Dhani Driantoro, Ketua IV Badan Musyawarah Antar Gereja Surabaya Hanny Prayogo, Ketua Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia Surabaya I Wayan Suraba, serta Ketua PW Lesbumi NU Jatim H Nonot Sukrasmono.
Pentas ditutup dengan diskusi singkat bersama Dahlan Iskan dan Remy Sylado. Dahlan Iskan adalah pengagum novel karya Remy. Dia sudah membaca setidaknya tujuh novel yang ditulis ahli budaya Tiongkok tersebut. Dahlan juga bertanya tentang bagaimana Remy melakukan risetnya ketika menyusun novel Sam Po Kong: Perjalanan Pertama. ”Saya penasaran,” ucap Dahlan.
Remy lantas menjawab. Demi mengumpulkan data, dirinya pergi ke berbagai negara, termasuk ke Tiongkok, tempat Cheng Ho dilahirkan. ” Tapi, saya belum sampai ke Mogadishu,” ucap Remy. Mogadishu adalah kota di Afrika Timur yang pernah dilewati pelayaran Cheng Ho.
Pria yang menguasai banyak bahasa, termasuk Mandarin dan Jerman, itu juga bercerita kepada Dahlan tentang temuannya yang menurutnya mengagumkan. ”Saya menemukan data tentang kapal Cheng Ho justru di sebuah museum di Belgia,” ungkapnya.
Sejak itu, dia tahu bahwa kapal Cheng Ho menggunakan teknologi kapal dan jangkar dengan ujung runcing sehingga keseimbangannya lebih baik jika dibandingkan dengan kapal lain.
Dahlan sempat menanyakan inspirasi penggunaan nama samaran Remy Sylado yang amat populer. Nama asli Remy adalah Yapi Panda Abdiel Tambayong. Siapa sangka, menjadi wartawan sekaligus penulis membuat Re- my memiliki setidaknya tujuh nama samaran.
Nama Remy Sylado didapatkan kala dia pentas membawakan lagu The Beatles. ”Inspirasi muncul saat main bas. Di lagu berjudul And I Love Her terdapat lirik I give her all my love yang dimainkan menggunakan nada re-mi-si-lado,” tuturnya. Jadilah satu nama samaran, yakni Remy Sylado.
Penonton yang menikmati pertunjukan Sam Po Kong kemarin ternyata tak hanya berasal dari Surabaya. Ada seniman asal Tiongkok di antara mereka. Dia adalah Kexin Zhang dan Margaretha Zhang. Keduanya menikmati pertunjukan walau tak mengerti dialog yang diucapkan karena menggunakan bahasa Indonesia.
”Walau tak bisa berbahasa Indonesia, kami mengerti jalan ceritanya. Kami telah membaca kisah tentang Cheng Ho juga,” tutur Margaretha dalam bahasa Inggris. Menurut dia, cerita tersebut sangat sesuai dengan masyarakat Indonesia yang beragam.
Zhang termasuk seniman yang cukup produktif. Dia telah melakukan pameran tunggal di Jerman, Belanda, Belgia, Prancis, dan Spanyol. Namanya juga tercatat sebagai salah satu kurator Guangzhou Triennale Ke-4 pada 2011, ajang pameran kontemporer yang penting di Tiongkok. (esa/c5/jan)