Jawa Pos

Di Awal Perjalanan Harus sambil Gendong si Anak

Jawa, Bali, Kalimantan, hingga Papua pernah disinggahi Masrani dan Santi sambil bersepeda ontel. Tiap kali epilepsi Santi kambuh, Masrani hanya menemani sambil membaca salawat.

- EMANUEL LIU, Palangka Raya

KASIH Masrani kepada sang anak, Santi, benar- benar sepanjang jalan. Dalam arti yang seharfiah-harfiahnya.

Sudah ribuan kilometer dia tempuh. Dengan memancal sepeda

Dari kampung halamannya di Banjarmasi­n, Kalimantan Selatan, ke berbagai pulau di Indonesia. Semuanya demi kesembuhan Santi yang menderita epilepsi.

”Saya ingin mengelilin­gi Indonesia sambil mencari orang pintar dan obat untuk menyembuhk­an dia,” katanya sembari menatap Santi.

Pada Kamis siang lalu (8/6) itu, Masrani dan Santi singgah di Gedung Biru Kalteng Pos ( Jawa Pos Group), Palangka Raya. Beristirah­at, mengumpulk­an tenaga, sebelum melanjutka­n perjalanan berikutnya.

Masrani mengenakan kaus hitam bertulisan Superman Is Dead, band punk asal Bali. Kakinya dibalut sepatu tanpa kaus kaki. Sedangkan Santi berkaus lengan panjang dan bersandal jepit.

Palangka Raya hanyalah satu noktah dari perjalanan panjangnya yang dimulai pada 2000. Ya, 17 tahun lalu. Atau ketika Santi baru berusia 2 tahun.

Ibunda Santi meninggal saat melahirkan anak keduanya tersebut. Sedangkan sang kakak sudah bekerja dan berkeluarg­a.

Sejak kepergian sang istri itu, Masrani harus bekerja sembari menjaga dan merawat Santi. Sebab, Santi tidak mau tinggal bersama sang kakak. Berdua mereka hidup serba terbatas.

”Karena mengalami penyakit tersebut, saya memilih merawat dia sendiri hingga akhirnya memutuskan untuk berkelilin­g Indonesia. Di awal perjalanan sambil saya gendong dia,” ungkapnya. Selama 17 tahun, bapak dan anak itu telah pernah singgah ke Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta, Bali, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Papua. Tapi, karena keterbatas­an biaya, bukan fasilitas medis terbaik di masing-masing tempat yang didatangi.

Melainkan lebih kepada, seperti disampaika­n Masrani, ”orang pintar dan obat”. Maksudnya, pengobatan alternatif. Hasilnya?

”Beberapa kali masih kambuh (epilepsiny­a, Red),” kata Masrani.

Mengutip situs Alodokter, penyakit epilepsi atau ayan adalah suatu kondisi yang dapat menjadikan seseorang mengalami kejang secara berulang. Kerusakan atau perubahan di dalam otak diketahui sebagai penyebab pada sebagian kecil kasus epilepsi. Namun, pada sebagian besar kasus yang pernah terjadi, penyebab masih belum diketahui secara pasti.

Menurut data WHO, mengutip situs yang sama, sekitar 50 juta orang di dunia hidup dengan epilepsi. Angka itu akan bertambah sekitar 2,4 juta setiap tahun. Angka pertambaha­n kasus epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Di negara maju, kasus epilepsi bertambah 30–50 kasus tiap 100 ribu penduduk. Sedangkan di negara dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah, kasus bisa bertambah hingga dua kali lipatnya.

Di Indonesia, didapatkan data kasus epilepsi paling sedikit 700.000–1.400.000. Angka itu akan bertambah sekitar 70 ribu tiap tahun. Di antaranya, 40–50 persen kasus epilepsi terjadi pada anak-anak.

Lalu, apa yang dilakukan Masrani ketika epilepsi Santi kambuh di tengah perjalanan? ”Saya baca salawat sembari menemani dia.”

Santi pun praktis tumbuh di jalan. Tak bersekolah. Dan, tentunya juga tak punya kawan sepermaina­n karena harus terus berpindah demi mencari obat untuk kesembuhan­nya.

Pada Kamis siang lalu itu, gadis berjilbab tersebut tampak sehat. Bahkan sempat dengan bersemanga­t memotong pembicaraa­n sang ayah untuk menceritak­an pengalaman diun- dang ke sebuah acara televisi nasional.

”Kami pernah masuk televisi, Mas, dan itu sudah beberapa waktu lalu,” celetuknya sambil tersenyum.

Menurut situs Alodokter, hingga kini memang belum ada obat atau metode yang mampu menyembuhk­an epilepsi sepenuhnya. Meski begitu, obat antiepilep­si atau OAE mampu mencegah terjadinya kejang. Dengan begitu, penderita dapat melakukan aktivitas seharihari secara normal dengan mudah dan aman.

Sebelum memutuskan keliling Indonesia, Masrani mengaku sudah berupaya mengobati Santi. Dibawa ke dokter maupun orang pintar (paranormal). ”Tapi, belum ada tanda-tanda kesembuhan Santi,” katanya.

Selama belasan tahun di jalan, Masrani mengaku sudah bertemu dengan beragam orang yang mengaku bisa menyembuhk­an sang anak. Termasuk ada yang meminta persyarata­n yang, bagi Masrani, tak mungkin dipenuhi.

Misalnya, ada yang meminta syarat dia (maaf ) mengencing­i kepala sang anak. ”Sudah pasti saya tolak,” katanya.

Namun, berbagai pengalaman seperti itu tak sampai meruntuhka­n semangatny­a. Dia masih percaya, di luar sana, entah di mana, ada obat yang bisa menyembuhk­an sang buah hati.

Karena itu, dia belum berencana berhenti. ”Kalau capek, kami memilih untuk beristirah­at di masjid ataupun musala yang ada,” lanjutnya.

Dia juga tak pernah ingin merepotkan orang lain. Tapi, sepanjang jalan, selalu ada saja tangan terulur yang memberikan bantuan.

”Baik berupa makan, minum, atau tempat beristirah­at,” katanya.

Hari beranjak siang. Ketika rasa lelah telah terusir dan tenaga kembali terisi, Masrani pun kembali menyiapkan sepeda ontel. Santi dimintanya bersiap-siap. Mereka akan kembali menelusuri jalan. Menuju Maluku. (*/JPG/c10/ttg)

 ?? EMANUEL LIU/KALTENG POS/JPG ?? DEMI BUAH HATI: Masrani bersama Santi saat singgah di Gedung Biru Kalteng Pos sebelum melanjutka­n misi perjalanan mereka keliling Indonesia Jumat (9/6).
EMANUEL LIU/KALTENG POS/JPG DEMI BUAH HATI: Masrani bersama Santi saat singgah di Gedung Biru Kalteng Pos sebelum melanjutka­n misi perjalanan mereka keliling Indonesia Jumat (9/6).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia