Bikin Lokakarya Kewirausahaan
Bukan hanya korban dan keluarga korban teror yang harus mendapat pendampingan. Keluarga pelaku teror pun mesti didampingi. Itulah salah satu titik krusial untuk memutus mata rantai radikalisme.
RASA khawatir dan takut berkecamuk dalam benak Any Rufaedah. Ketika itu dia hendak mendatangi sebuah rumah di Cimanggis, Depok, Jawa Barat
Dia takut ditolak pemilik rumah. Khawatir dimarahi dan dikafir-kafirkan.
Maklum, image keluarga narapidana terorisme seperti anggapan banyak orang cenderung keras, kaku, dan radikal. Itulah kali pertama dia resmi menjadi pendamping keluarga napi teroris. Yang dia temui adalah istri seorang yang divonis empat tahun penjara karena ikut pelatihan militer di Poso, Sulawesi Tengah.
Padahal, Any sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Dia mengenakan gamis panjang. Sebelum berkunjung, dia telah menelepon perempuan 37 tahun yang punya anak lima itu. Izin kunjungan dari suami yang berada di dalam penjara pun sudah didapat.
”Saat menelepon pun menggunakan bahasa mereka. Saya panggil umi (ibu, Red). Kalau nilai terlalu berbenturan, akan sulit diterima dan terbuka,” ujar alumnus Program Magister Ilmu Psikologi Universitas Indonesia itu saat ditemui di sebuah kafe di Cikini, Jakarta, pada Senin (29/5).
Kunjungan hari itu tidak dia lakukan sendiri. Any bersama dua perempuan. Salah satunya adalah ustadah dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama. Seorang lagi adalah polisi wanita (polwan). Mereka mengenalkan diri dengan jujur soal latar belakang masingmasing. Kejujuran itu penting agar istri napi teroris bisa menerima apa adanya sejak awal tanpa rasa curiga.
”Pertama kali datang itu hanya kenalan. Tanya asal dan ya mungkin semacam CV ( curriculum vitae),” jelas perempuan kelahiran Banyuwangi yang berulang tahun tiap 6 Juni itu. Bulan ini dia genap 33 tahun.
Pertemuan pertama berlangsung sekitar 1,5 jam. Pada akhir perjumpaan tersebut, mereka berjanji bertemu lagi. Pertemuan kedua pada Maret 2016-lah yang lebih krusial.
Pada kunjungan kedua itu, mereka tetap berperilaku santun. Tapi, bahan obrolan lebih serius soal ideologi dan cara pandang dalam beragama. Tentu ustadah dari Kemenag berperan memberikan nilai-nilai keislaman yang moderat dengan disertai dalil Alquran dan hadis. Termasuk dibahas pula konsep jihad.
Polwan yang datang juga membantu menjelaskan masalah hukumnya dengan mudah. Adapun Any berperan mengatur ritme pertemuan itu. Dia bertugas menjaga jalannya pertemuan yang informal tersebut tetap bisa terfokus sesuai tujuan deradikalisasi. ”Di luar pertemuan itu, saya yang bertugas terus menjalin komunikasi dengan mereka. Sedangkan ustadah dan polwan hanya di pertemuan itu,” ungkap perempuan yang juga menjadi ketua Program Studi Psikologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia itu.
Pelibatan ustadah dan polwan tersebut amat penting dalam pendampingan berkonsep kontak hipotesis atau intergroup contact. Prinsipnya, prasangka buruk, termasuk terhadap polisi yang selama ini dianggap thoghut, diluluhkan dengan dialog yang hangat dan terbuka.
”Karena yang ingin dicapai ini perubahan kognisi, jadi tidak mudah. Harus pelan-pelan,” jelas alumnus Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, pada 2007 itu. Pendampingan biasanya dilakukan dalam suasana informal. Tidak ada tulis-menulis seperti sedang wawancara. Tapi, memang direkam suaranya.
Menurut Any, istri teroris yang ditemuinya itu pada pertemuan ketiga memang menjadi lebih terbuka dan tidak sepakat dengan cara kekerasan seperti yang dijalankan kelompok ISIS. Meski begitu, dia masih tidak bisa terima karena suaminya divonis bersalah. Perempuan tersebut masih menyimpan kebencian terhadap Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri. ”Mungkin karena istri itu tidak tahu aktivitas suaminya di luar rumah yang angkat senjata dan ikut pelatihan militer,” ujarnya.
Hingga sekarang, Any tetap menjalin komunikasi dengan keluarga Cimanggis tersebut. Bahkan, ketika mereka butuh bantuan, Any tak segan membantu. ”Misalnya, umi bilang anaknya perlu mukena, ya kami belikan,” jelasnya.
Paket fase pertama itu memang dilakukan minimal tiga kali pertemuan. Fase lainnya adalah lokakarya kewirausahaan yang biasanya selama tiga hari. Itu agak sulit karena biasanya para suami tidak mengizinkan istri pergi ke luar rumah tanpa ditemani muhrim. Karena itu, Any dengan dibantu rekan-rekannya kadang sampai antar jemput para istri. Padahal, acara lokakarya di hotel tersebut seharusnya menginap.
Sejak 2015, Any menjadi peneliti sekaligus pendamping pada Pusat Riset Ilmu Kepolisian (PRIK) UI. Sekarang dia bergabung di Divisi Riset Psikologi Sosial Terapan Daya Makara UI.
Selama itu, sudah 39 keluarga napi teroris yang dia dampingi. Antara lain keluarga napi kasus Bom Bali 1, kasus bom Plaza Atrium Senen, dan kasus percobaan penyerangan Kedubes Myanmar. Juga keluarga napi kasus Poso, kasus Ambon, kasus pelatihan militer, dan perkara senjata api ilegal. (jun/c11/owi)