Terkesan Diskusi dengan Ateis Mongolia
Kuliah ke luar negeri adalah berkah bagi Siti Maghfirotul Ulyah. Dia mendapat beasiswa penuh di National Taiwan University of Science and Technology (NTUST). Kesempatan itu tidak disia-siakannya.
PONPES Qomaruddin berpengaruh besar di wilayah pantura. Ponpes yang diyakini berdiri pada 1775 Masehi itu telah menelurkan ribuan santri dan alumnus. Di jenjang pendidikan menengah, Ponpes Qomaruddin memiliki program madrasah aliyah (MA), SMA, dan SMK. Ulya –sapaan Siti Maghfirotul Ulyah– memilih masuk kelompok SMA.
Kini cewek kelahiran 1 Juni 1992 itu mengabdi di almamaternya di Ponpes Qomaruddin. Dia mengajar matematika untuk siswa MTs, MA, dan SMA Assa’adah. Bahkan, Ulya juga menjadi dosen ekonomi syariah di Institut Agama Islam (IAI) Qomaruddin.
Saat kuliah di Taiwan, dia mengambil program financial mathematics. Selain menyerap ilmu akademik, Ulya belajar ilmu sosial melalui interaksi dengan berbagai warga dunia. Di Taiwan, Islam adalah agama minoritas. Bahkan, di jurusannya, financial mathematics, Ulya satusatunya mahasiswa muslim. ’’Menjadi minoritas punya tantangan sendiri. Harus pandai-pandai bergaul,” tutur gadis yang bercita-cita menjadi peneliti itu. Beruntung, warga kampus dan masyarakat Taiwan pada umumnya memiliki toleransi tinggi.
Di Taiwan, Ulya belajar makna toleransi. Menurut dia, semua orang saling menghormati keyakinan dan kepercayaan masing-masing. ’’Tidak ada intimidasi dari mayoritas ke minoritas,” tutur cewek yang masih
itu. Dia juga banyak berdiskusi dengan mahasiswa dari berbagai negara non-muslim. Bahkan, tidak sedikit yang mengaku sebagai ateis. Suatu ketika, Ulya merasa sangat takjub saat berdiskusi dengan salah seorang ateis dari Mongolia. ’’Dia bilang, seandainya saya bisa memilih salah satu agama untuk dianut, saya akan memilih Islam,” tutur Ulya menirukan ucapan teman asal Mongolia itu. (umar wirahadi/c17/oni)