Empat Rekomendasi Lawan Korupsi
JAKARTA – Madrasah Antikorupsi PP Pemuda Muhammadiyah mengeluarkan empat rekomendasi melawan korupsi. Penolakan terhadap hak angket KPK menjadi fokus utama. Langkah politik DPR itu dianggap akan melemahkan komisi antirasuah.
Empat rekomendasi tersebut disampaikan pada penutupan Konvensi Antikorupsi Jilid II di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya, kemarin (11/6). Selain menolak hak angket KPK, gerakan pemuda itu meminta Presiden Jokowi membentuk tim pencari fakta kasus Novel Baswedan; mendorong KPK mengungkap dan menuntaskan kasus-kasus korupsi besar seperti BLBI, RS Sumber Waras, reklamasi, dan kasus e-KTP; serta meminta KPK menindaklanjuti laporan PP Pemuda Muhammadiyah tentang uang Rp 100 juta dari istri almarhum Siyono.
”Kami berharap empat reko- mendasi itu mendapat perhatian dari presiden, KPK, dan dewan,” terang Abdul Rahman Syahputra Batubara, direktur Madrasah Antikorupsi PP Pemuda Muhammadiyah, setelah membacakan rekomendasi.
Khusus untuk hak angket KPK, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mendesak DPR agar membatalkan hak angket. Dia menilai hak melakukan penyelidikan itu catat hukum. ”Angket akan melemahkan KPK,” terang dia. Kinerja komisi yang diketuai Agus Rahardjo itu akan terganggu.
Menurut dia, pembatalan harus dilakukan karena hak yang digulirkan dewan tersebut sarat muatan politik. Sebab, saat ini KPK sedang getol membongkar kasus korupsi e-KTP yang diduga banyak menyeret nama wakil rakyat. Hak angket itu muncul setelah KPK menolak membuka rekaman penyidikan Miryam S. Haryani.
Bukan hanya Pemuda Muhammadiyah, Indonesia Budget Center (IBC) juga mengkritik pembentukan Pansus Hak Angket KPK. Mereka meminta anggaran pembiayaan Pansus Angket KPK sebesar Rp 3,1 miliar dibatalkan.
Direktur Eksekutif IBC Roy Salam menyatakan, dana operasional Pansus Angket KPK sebesar Rp 3,1 miliar telah ditetapkan dalam rapat internal pansus pada Kamis lalu. Dana yang dikelola Sekretariat Jenderal DPR itu berpotensi menyimpang karena berbagai kontroversi yang muncul dalam proses pengambilan keputusan pembentukan angket dan pansus itu sendiri. ”Seharusnya DPR tidak membiayai pansus angket yang prosesnya bermasalah dan cacat hukum,” kata Roy.