Jawa Pos

Kegagalan Polisi

- NETA S. PANE* *) Ketua presidium Indonesia Police Watch

AKSI persekusi belakangan menjadi modus baru kejahatan yang meresahkan masyarakat. Namun, aksi ini bisa dicegah jika polisi menjalanka­n fungsi secara maksimal. Khususnya fungsi pendeteksi­an dini potensi tindak kejahatan akibat media sosial (medsos).

Harus diakui, aksi persekusi yang terjadi belakangan tidak bisa lepas dari dampak perkembang­an media sosial (medsos). Dalam perjalanan­nya, medsos memang tidak hanya menjadi ajang berbagi cerita. Namun juga sebagai wadah menyuaraka­n aspirasi politik. Dan tren tersebut menemui puncaknya dalam pilkada DKI lalu.

Namanya aspirasi politik, setiap kepala memiliki pandangan masingmasi­ng. Benturan maupun silang pendapat yang keras yang berujung saling memaki tak terhindark­an lagi. Dengan kedewasaan politik yang belum terbangun, keriuhan di medsos merembet ke dunia nyata. Salah satunya berbentuk persekusi.

Nah, kepolisian sebagai aparat ke amanan semestinya bisa mendeteksi hal tersebut. Meski keriuhan terjadi di medsos, tetap saja membuka peluang konflik. Hal itulah yang seharusnya dibaca aparat sejak dulu. Dan diturunkan dalam antisipasi yang taktis.

Dengan adanya unit cybercrime yang sudah dimiliki kepolisian, sebetulnya pendeteksi­an dini sangat mudah dilakukan. Ada alat teknologi yang bisa digunakan untuk menjalanka­n fungsi tersebut. Belum lagi ketersedia­an perangkat intelijen. Sayangnya, komitmen maupun inisiatifn­ya sangatlah terlambat. Barulah ketika kasus muncul, kepolisian tampak kelabakan.

Ke depan, kepolisian harus bisa menjalanka­n fungsi tersebut secara maksimal. Jika ada keriuhan di medsos, antisipasi harus segera dilakukan. Cara kerja dengan menunggu harus ditanggalk­an. Orang-orang yang potensial menjadi objek persekusi harus diproteksi.

Aparat juga harus mengedepan­kan semangat kerja yang profesiona­l, proporsion­al, dan independen. Sebab, harus diakui, tindakan persekusi dengan main hakim sendiri juga disebabkan oleh ketidakadi­lan yang dirasakan kelompok tertentu.

Ada kesan aparat keras dengan sekecil apa pun kesalahan yang dilakukan kelompok tertentu. Tapi, di sisi lain lambat dalam menindak kesalahan yang dilakukan kelompok lain. Cara kerja demikian pada akhirnya ikut memantik kelompok yang dirugikan memilih menjadi ’’polisi gadungan’’ dengan menindak kelompok yang dibiarkan aparat negara.

Untuk itu, fenomena persekusi yang ramai belakangan harus benarbenar diinsafi aparat dengan melakukan evaluasi. Cara kerja profesiona­l, proporsion­al, dan independen tidak hanya dijadikan jargon. Sebab, dalam kasus tertentu, pelaku maupun objek persekusi sama-sama korban. Yaitu, korban dari ketidakber­esan kerja kepolisian.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia