25 Persen Berijazah Palsu
Peserta Seleksi Calon Anggota Majelis Rakyat Papua Barat
MANOKWARI – Ingin menjadi wakil rakyat, tapi kok nekat menempuh cara curang dan melanggar hukum. Itulah yang terekam dalam validasi 194 ijazah sarjana (S-1) peserta calon anggota Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB). Hasilnya cukup mencengangkan. Lebih dari 25 persen peserta diduga menggunakan ijazah palsu saat mendaftar.
Anggota Pansel (Panitia Seleksi) MRPB Filep Wamafma menyatakan, hingga validasi kemarin (11/6), ditemukan 50 ijazah yang diduga dipalsukan. Pansel akan melakukan pembenahan lagi, apakah ada unsur kesengajaan menggunakan ijazah palsu saat mendaftar sebagai calon anggota MRPB.
”Rata-rata ijazah yang keasliannya diragukan ini berasal dari perguruan tinggi luar Papua dan sekolah agama,” terang mantan anggota KPU Provinsi Papua Barat tersebut.
Pendaftar dengan ijazah yang diragukan keasliannya itu termasuk 167 peserta yang lolos seleksi kesehatan. Namun, mereka masih memilih diam. ”Pansel sudah mengetahui cara penyelesaiannya. Kami tidak akan menyampaikan yang menjadi kekurangan orang. Kalau dia merasa ada kekurangan, bisa mengakuinya,” ungkapnya.
Filep memperlihatkan salah satu ijazah yang terindikasi dipalsukan. Pansel melakukan validasi dengan sistem PDPT (pangkalan data perguruan tinggi). ”Misalnya, ijazah ini yang telah diteliti dengan sistem pangkalan data. Sama sekali tidak ditemukan. Tidak ada nama mahasiswanya. Tidak ada progres aktivitas perkuliahannya. Jadi, keaslian ijazahnya bisa diragukan,” tuturnya.
Pansel telah menggelar rapat pleno untuk menyikapi ijazah palsu tersebut. Pansel mengambil langkah-langkah. Di antaranya, meminta calon yang bersangkutan mengklarifikasi dengan menunjukan bukti kartu rencana studi (KRS), kartu hasil studi (KHS), dan bukti pembayaran SPP.
Dia menambahkan, jika KRS, KHS, dan bukti pembayaran SPP masih diragukan, pansel akan mendatangi sistem penjaminan mutu perguruan tinggi yang bersangkutan untuk mengklarifikasinya. ”Jika poin satu dan dua tidak dapat terjawab, pansel menyerahkan masalah tersebut sepenuhnya ke penegak hukum,” jelasnya.
Filep menjelaskan, untuk ijazah yang pengeluarannya di bawah 1990-an, jika tidak terekam dalam sistem PDPT dikti, pansel akan menyurati perguruan tinggi asal untuk memberikan keterangan. Sementara itu, untuk lulusan S-1 2006– 2017, sumber utama validasi ijazah perguruan tinggi negeri dan swasta, baik yang di bawah dikti maupun kementerian, wajib menggunakan data PDPT.
Dia menerangkan, peserta seleksi ang gota MRPB yang merasa ijazah sar ja nanya diperoleh melalui jalan yang tidak benar diharapkan untuk tidak mengikuti seleksi tahap berikutnya. Se makin mereka mengikuti tahap seleksi, proses hukum juga akan mengikutinya. ( lm/ c24/ ami)