Jawa Pos

Pakai Hot Cream biar Tak Kesemutan

Pementasan teater Sam Po Kong oleh Dapur Teater Remy Sylado masih jadi perbincang­an. Di balik kesuksesan itu, ada perjuangan orang- orang yang terlibat. Termasuk para penari yang merupakan 20 siswa dari berbagai sekolah. Keterbatas­an waktu dan keadaan men

- ASA WISESA BETARI

MENJADI saudara tak harus punya hubungan darah. Tak pula disatukan selama bertahun-tahun di bawah atap yang sama. Persaudara­an terbentuk pada perjumpaan singkat. Itulah yang dirasakan oleh para penari teater Sam Po Kong.

Para siswa dari sekolah yang berbeda dipertemuk­an untuk menjalani perkenalan singkat dan menyatukan visi. Yakni, kekompakan gerak dan langkah demi suskesnya pergelaran yang dihelat Sabtu (10/6) di Ciputra Hall-Performing Arts Centre itu.

Seakan tak ingin meninggalk­an panggung, para penari Sam Po Kong tampak sibuk berfoto setelah pementasan. Tentu saja, make-up dan kostum juga sayang untuk ditanggalk­an. Berapa pun jepretan foto masih saja kurang

Rentetan rencana pose juga terus membubung di benak. Mulai pose berdiri, duduk, berbaring, hingga ndlosor. Foto sesi bersama seluruh pemain hingga selfie dari berbagai angle wajah.

Peringatan panitia untuk segera mengembali­kan kostum juga seakan hanya angin lalu. Pemandanga­n tersebut berlangsun­g hingga sekitar pukul 20.00. Padahal, pementasan selesai pukul 17.00.

Foto memang menjadi pengunci memori. Menjadi bagian dari pementasan teater Sam Po Kong patut diabadikan. Setidaknya itu bisa menjadi penyambung silaturahm­i dan pengingat cerita.

Sebanyak 20 penari tersebut tampil dalam beberapa bagian. Yakni penari Jawa, Tiongkok, dan para prajurit. Ya, mereka memang para figuran dalam pentas petang itu. Tapi, andil anak-anak muda tersebut cukup besar.

Pergelaran teater diadopsi dari novel Remy Sylado yang berjudul Sam Po Kong: Perjalanan Pertama. Pementasan mengambil cuplikan novel di halaman 516–538 di antara total keseluruha­n lebih dari 1.100 halaman. Pesan yang disampaika­n adalah tentang kebangsaan dan nasionalis­me. Oleh karena itu, terdapat kisah tentang terjadinya akulturasi budaya Jawa dan Tiongkok hingga masuknya agama Islam ke tanah air.

Di balik pementasan yang indah, selalu ada bagian-bagian kecil yang menarik untuk diulas. Pertemuan para pemain Dapur Teater Remy Sylado dengan para penari cukup singkat. Para pemain yang semuanya datang dari Jakarta tiba di Surabaya seminggu sebelum pementasan. Oleh karena itu, para penari baru bisa bertemu untuk memulai latihan H-5 pementasan. Waktu yang sangat singkat untuk pertunjuka­n sebesar itu.

Namun, tim Dapur Teater Remy Sylado memang andal. Mereka sudah memiliki keahlian masing-masing sehingga bisa saling mengisi. Tanty Saragih dan Catherine Lee adalah aktris yang memerankan permaisuri. Mereka pulalah yang menjadi koreografe­r untuk para penari.

Para penari memanggil mereka dengan sebutan akrab ”Bunda”. Kata yang sempat jadi perdebatan karena Tanty ingin dipanggil ”Kakak”. Sekali dua kali, pemeran Permaisuri II itu mengelak untuk dipanggil Bunda. ”Usiaku kan nggak jauh beda sama kalian,” canda Tanty. Tany dan Catherine adalah sosok yang bersahabat. Cenderung gokil dan banyak guyon, tapi fokus ketika mengajar tari. Pembawaan itu membuat suasana latihan jadi segar. Kedekatan batin pun cepat terjalin baik dengan pelatih maupun antar penari.

Kemarin (11/6) Tanty, Catherin, dan para pemain Dapur Teater Remy Sylado terbang kembali ke Jakarta. Namun, percakapan di grup Line yang berisi para penari dan pelatih masih gayeng. ”Jangan dibubarin ya, Nak, grupnya. Bunda kangen,” tulis Tanty dalam pesan perpisahan. Ucapan itu direspons oleh setidaknya sepuluh anggota. Baru semalam berpisah, cerita suka dan duka yang dialami selama latihan hingga pementasan masih amat terngiang di benak.

Tantangan penari Jawa, Tiongkok, hingga prajurit tersebut berbeda dalam pentas. Para penari Jawa harus terus mengapit raja dan permaisuri. Mereka duduk bersimpuh dengan memakai kebaya dalam waktu lama. Tentu kaki langsung gringginge­n. Kesemutan. Lebih parah lagi, kaki menjadi mati rasa. Padahal, setelah duduk, para penari harus lekas berdiri dan menari.

Jantung rasanya sudah mau copot ketika menunggu jatah beraksi sambil menyimak dialog. Maklum, kejadian beberapa waktu lalu kala latihan membuat sedikit trauma. H-2 pentas, beberapa penari hampir jatuh karena menari saat darah belum sepenuhnya mengalir lancar di kaki. ”Habis duduk lama, langsung berdiri grek dan melangkah. Ada yang jatuh lah,” ucap Naura Jasmine, siswa kelas VIII SMPN 1 Surabaya.

Melihat beberapa penari terjatuh, sang sutradara Remy Sylado meminta Tanty merevisi gerakan. Akhirnya, saat geladi resik, gerakan dikurangi untuk memberikan penyesuaia­n waktu kepada penari ketika berdiri setelah duduk.

Walau koreografi sudah sedikit direvisi, kesemutan tetap tidak dapat dihindari. Solusi untuk mengoleska­n hot cream sebelum pementasan juga tak banyak memberi efek. Sebagai sosok yang berada di panggung, mereka juga harus selaluters­enyum. Dibalikitu, mereka menahan rasa sakit dari bayangan semut-semut yang makin trenggin as di dalam aliran darah.

Terpaksa, para penari Jawa harus hati-hati memindahka­n posisi kaki supaya tak terlihat penonton. ”Caranya ambil waktu ketika artis lain yang posisinya nggak di dekat kita bicara. Jadi, pandangan penonton kan nggak ke arah kita,” tutur Naura Jasmine.

Saat penari satu berhasil berpindah posisi tanpa ketahuan, yang lain ikut. Secepat mungkin jika ada kesempatan pindah posisi. Tak perlu kode, para penari sudah bisa menyeragam­kan gerakan. ”Kalau teman-teman pindah posisi, yang belum pindah pasti kerasa sendiri. Langsung menyesuaik­an,” tambah penari lain, Alifia Putty. Kalau belum juga peka, lanjut dia, terpaksa disenggol sedikit.

Para prajurit Majapahit juga harus bertahan melawan dinginnya AC Ciputra Hall. Terlebih, mereka hanya mengenakan sewek dan bertelanja­ng dada.

Sejak pagi mereka stand by di belakang panggung untuk ber- makeup dan berganti kostum. Otot pun kaku lantaran menahan dingin. ”Karena kedinginan, kami enggak konsentras­i. Gerakannya juga jadi kaget karena otot-ototnya kaku,” kenang salah seorang pemeran prajurit, Reyvaldi Zain. Dia adalah siswa kelas XI SMAN 20 Surabaya.

Dan prajurit zaman dahulu tidak boleh memakai jaket atau selimut. Selimut mereka adalah hot cream. ”Kami saling membantu menggosok badan pakai hot cream. Soalnya, duiingiiin pol,” ucapnya menekankan. Ya, hot cream menjadi andalan para penari Jawa dan prajurit pada situasi kala itu.

Meski sudah berusaha untuk menahan dingin dan tidak melakukan gerakan selain bagian dari koreografi, gerakan-gerakan kecil tertangkap mata penonton. Misalnya, saat Renaldo Santoso seperti garuk-garuk. ”Soalnya pegel. Jadi, punggungku tak pijet-pijet sendiri,” ucapnya kala ditegur oleh Reyvaldi seusai pentas.

Cerita seru lain datang dari para prajurit yang kerap digoda oleh sida-sida, pengasuh putri Majapahit yang banci. Ternyata, Charles Tjioe, pemeran sida-sida itu, amat mendalami peran. Saking dalamnya, sifat kebanciann­ya masih melekat di balik panggung.

”Sida-sida suka pegang-pegang. Alasannya mau beri semangat. Kan aku risi,” ujar Reyvaldi. Keempat anggota pasukan kerajaan juga kerap menjadi sasaran tangan iseng nan gemulai si sida-sida. Aldo, sapaan Renaldo Santoso, adalah orang yang paling ditaksir sida-sida. ”Kami sampai pada bilang, tuh dicari pacarmu,” tambah Reyvaldi.

Para penari dari Tiongkok juga punya tantangan berbeda saat tampil. Selama latihan, para penari diperboleh­kan menggunaka­n sepatu. Masalah timbul ketika geladi resik. Mereka harus menjajal semua kostum dan menanggalk­an sepatu. Hanya memakai kaus kaki.

Padahal, menari pakai kaus kaki pasti terasa licin. Untung, tidak ada yang terpeleset. Kalau kejadian, bukan sakit yang harus ditanggung. Tapi, rasa malu luar biasa.

Salah seorang pemeran penari Tiongkok, Henoch Sugeng, mengalami hal yang cukup menegangka­n. Gerakan tari yang rancak dan energik membuatnya grogi. Selain harus menghafal gerakan dalam waktu yang singkat, ancaman terpeleset selalu menghantui. ” Nggak ada trik supaya nggak kepeleset. Satu-satunya cara adalah berdoa, banyak minum, dan fokus ke gerakan,” tuturnya.

Walau sudah memiliki basic menari, mahasiswa semester VI Jurusan Teknik Industri Sekolah Tinggi Teknik Surabaya itu masih selalu grogi pada setiap penampilan. Rasa grogi itu membuatnya sungguh-sungguh dalam latihan. Semakin grogi, semakin otaknya memaksanya untuk fokus. ”Detikdetik sebelum pementasan, aku masih lupa-lupa ingat. Caranya ya latihan sendiri. Ngurangin guyon,” jelasnya.

Tak lebih dari seminggu, 20 siswa itu dipertemuk­an. Namun, kenangan tentang cerita di balik pementasan hingga detik ini masih menjadi hal yang seru untuk dibahas. Sukaduka bercampur aduk menjadi kenangan. Suasana latihan, guyonan ringan dan spontan, hingga atmosfer panggung memang ngangeni.

”Ikut dalam pentas ini adalah sesuatu yang membanggak­an. Saya sangat senang bisa menari di depan ratusan mata, disaksikan oleh Pak Dahlan Iskan. Semoga kami dipertemuk­an lagi di pementasan selanjutny­a,” katanya dengan senyuman. (*/c6/dos)

 ?? GHOFUUR EKA/ JAWAPOS ?? PENGALAMAN PENTING: Para penari bersama anggota Dapur Teater Remy Sylado sebelum pentas.
GHOFUUR EKA/ JAWAPOS PENGALAMAN PENTING: Para penari bersama anggota Dapur Teater Remy Sylado sebelum pentas.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia