Beribu Aksi, Satu Kebanggaan
KERAP menjadi sorotan plus banyak jejak negatif di mata masyarakat membuat Bonek masih dipandang sebelah mata hingga saat ini. Tapi, bukan Bonek namanya jika hanya berdiam diri mendapatkan pandangan sinis itu. Mereka sadar sudah waktunya berubah. Sudah waktunya tidak lagi hanya berkutat pada kerusuhan, permusuhan, dan rasisme. Bonek sudah sadar bahwa semua itu sangat merugikan eksistensinya di persepakbolaan nasional, terutama terhadap nama klub kesayangannya: Persebaya.
Momen Ulang Tahun Ke-90 Persebaya jadi penegasan diri. Terlebih, hadirnya generasi muda membuat suara perubahan itu kian kencang. Ideologi suporter Eropa lantas dianut. Lalu, muncul beberapa kelompok besar yang menyuarakan Bonek antianarkistis dan antirasis. Bonek yang lebih fokus mendukung Persebaya, seperi dahulu saat pertama Green Force berdiri.
Lahirlah Tribun Utara yang kemudian dikenal Green Nord ’27 dengan aksi-aksi kreatifnya dalam mendukung Persebaya. Ada juga Tribun Kidul yang bergantian menyuarakan semangat perubahan. Keduanya bergandengan tangan, membentuk sebuah komitmen bahwa Bonek bukanlah sekelompok kriminal. Bonek hanyalah pencinta Persebaya, bernyanyi dan berkreativitas bersama demi meraih juara.
Pada 8 Januari, saat PSSI kembali mengakui Persebaya di kancah persepakbolaan nasional mungkin jadi titik balik. Bonek membuktikan diri, mereka sudah benar-benar berubah. Misalnya, dalam kejuaraan Piala Dirgantara di Sleman beberapa bulan lalu. Lihat saja, ribuan Bonek yang away tak lagi menghantui atau meneror kota-kota yang dilewatinya. Malah mereka saling membantu, mengingatkan, dan menghardik sekelompok orang yang bertindak anarkistis dan mengatasnamakan Bonek.
Bukti kuat tersaji saat Bonek turun membersihkan dan mengecat ulang tembok Stadion Maguwoharjo setelah laga final. Mereka bertanggung jawab atas ulah rekan-rekan mereka yang belum berubah. Belum mengerti arti respect sebagai pendukung klub sepak bola.
Atau saat aksi Gruduk Bandung, ribuan Bonek yang kala itu memperjuangkan Persebayabahu-membahumembersihkan lokasi demo di GOR Padjadjaran, Bandung. Pujian pun berdatangan saat itu. Namun, Bonektetapdiam.Merekasadar,perubahan masih dalam tahap awal.
’’Bonek sekarang lebih dewasa dalam bersikap mendukung Persebaya,’’ ujar Devara Noumanto, salah seorang perwakilan Bonek dari sebuah wadah bernama Pecinta Persebaya. Menurut dia, Bonek sekarang sudah tidak lagi bertindak anarkistis. Lebih mengedepankan sportivitas dan kreativitas dalam mendukung tim kebanggaannya. ’’Ini tidak terlepas dari sumber daya manusia di dalamnya,’’ tuturnya.
Bahkan, Bonek yang dahulu lebih getol menyuarakan suara komunitas saja kini sudah melebur. Ego tersebut sudah ditinggalkan. Dikubur bersama dengan aksi anarkistis di masa lalu. ’’Bonek sudah sadar bahwa membesarkan nama Persebaya itu lebih penting dari segalanya,’’ tegasnya.
Segendang sepenarian, dirigen Tribun Kidul Ali Akbar menyatakan hal serupa. Menurut Ali, Bonek sekarang sudah sangat berubah. Sudah berani melebur jadi satu dan tidak memandang asal atau kelas sosial. Dia yakin suatu saat Bonek bisa membersihkan citra negatifnya selama ini. ’’Masih ada beberapa memang yang membuat rusuh. Tapi, saya yakin itu semua akan hilang dalam waktu dekat,’’ bebernya.
Lebih nyata, Dadang Kosasih mengingatkan, yang paling penting tidak ada bernyanyi sendiri-sendiri untuk menyemangati pemain di lapangan. Tidak terpisah-pisah menjadi bagianbagian tersendiri sesuai tribun. Semua jadi satu, lantang untuk bernyanyi dan bersuara demi Persebaya.
’’Saya rindu momen itu. Yang mungkin hampir mirip adalah empat tahun kami berjuang mengembalikan Persebaya. Semua Bonek jadi satu, tanpa nama komunitas. Turun ke jalan hanya untuk Persebaya,’’ tegas pria yang sudah lebih dari 40 tahun jadi Bonek itu.
Nah, momen yang sama kembali dirasakannya Sabtu lalu (17/8). Dia akhirnya untuk kali pertama setelah kurang lebih 20 tahun mendengar puluhan ribu Bonek di Stadion Gelora Bung Tomo bernyanyi bersama. Bernyanyi anthem yang sama, satu suara: Untuk Green Force. (rid/c6/ady)