Jawa Pos

Kini Hidup Tanpa waswas

Lukisan kehidupan masyarakat eks lokalisasi Dolly kini berubah. Denyut kehidupan ekonomi mereka memang sempat Namun, kini mereka mengaku menemukan kebahagiaa­n. Hidup lebih tenang.

-

ngedrop.

MALAM di kawasan Putat Jaya atau dulu akrab dengan Jarak dan Dolly tidak ubahnya kampungkam­pung lain. Di sana tidak ada lagi kemacetan sebagaiman­a tiga tahun silam

Di sepanjang jalan sudah tidak terlihat lagi orang mabuk. Bau menyengat alkohol juga tidak tercium. Becak- becak yang biasanya parkir di depan gang pun sudah tidak terlihat.

Yang tersisa kini hanya lampulampu warung makan yang buka hingga larut. Warung-warung itu bisa dibilang jejak sejarah saat bisnis prostitusi masih bergairah di sana. Salah satunya, warung soto dan ayam penyet milik Milatil Huda.

Meski waktu sudah menunju- kkan pukul 23.40, perempuan yang akrab disapa Umik tersebut masih setia duduk di balik meja. Sesekali dia bangkit melayani pembeli dengan mengulek sambal. ’’ Sudah biasa begini. Jadi, bapak biasanya jualan dari pagi sampai Magrib. Saya jualnya bakda Isya sampai Subuh nanti,’’ ucapnya.

Kendati Dolly kini tutup, Umik mengaku tidak bisa mengubah ritme jualannya. Di masa bisnis prostitusi jaya, penjualan saat malam hari merupakan sumber utama. Dia bisa mendapatka­n uang minimal Rp 500 ribu. Kemudian, jualan Choiron, sang suami, pada siang hari biasanya menghasilk­an Rp 300 ribu.

Namun, setelah Dolly tutup, perjuangan perempuan yang membuka warung sejak 1993 tersebut kian berat. Dia jelas tidak bisa mengubah waktu buka warung. Sebab, masih ada beberapa pelanggan yang memang suka cangkruk sambil makan soto tengah malam. Namun, perjuangan itu tidak sebanding. Kadang, ibu dua anak tersebut hanya berhasil menjual dua porsi soto beserta minuman. ’’ Ya kalau ditanya sekarang ya beda. Rata-rata malam dapat Rp 100 ribu siangnya dapat Rp 100 ribu. Itu pun pasti berkurang kalau puasa begini karena siang kami tutup,’’ ungkapnya.

Untuk hidup sehari-hari dan membiayai dua anaknya yang kini belajar di pondok pesantren, Umik tentu harus gali lubang tutup lubang. Utang sana-sini. Namun, bukan berarti dia menyesal Dolly ditutup. Dia tahu benar cemasnya masyarakat di Dolly saat industri esek-esek masih berjalan.

Setiap hari pemandanga­n pria hidung belang yang teler adalah hal biasa. Tawuran juga kerap terjadi. Belum lagi perempuan yang hilir mudik dengan pakaian seksi. Meski mendapatka­n pendapatan besar, Umik menolak kembali ke masa itu. ’’ Alasan mengapa dua anak saya dipondokka­n setelah lulus SD ya karena takut sama pergaulan di sini,’’ tuturnya.

Hanya satu yang diminta oleh Umik, bisa hidup lebih tenang. Pemkot selama ini menggalang banyak program untuk membangkit­kan ekonomi warga yang terdampak penutupan. Salah satunya, giat membina usaha kecil menengah (UKM). Namun, dia mengaku tidak cocok dengan program tersebut karena sudah terbiasa berjualan makanan.

Dia menjelaska­n, pemberdaya­an tentunya bukan hanya soal mencari usaha baru. Misalnya, pemberdaya­an warung-warung makan yang masih bertahan di Dolly untuk program-program pemerintah. ’’ Saya dengar kan ada program nasi kotak gratis untuk lansia dan yatim piatu. Kan lebih cocok kalau nasi itu yang bikin saya sebagai warga Dolly juga,’’ katanya.

Itu juga diakui oleh Surati, 38, mantan juragan laundry di Putat Jaya Gang 4B. Saat kejayaan Dolly, dia bisa memperoleh Rp 300 ribu per hari dari mencuci pakaian para PSK. Sampai-sampai dia mengajak tetangga untuk ikut bekerja. ’’ Dulu suami saya larang kerja. Dia bantu laundry saja sudah cukup buat rumah tangga,’’ jelasnya.

Tetapi, sekarang tiang-tiang jemuran yang didirikan di kuburan sebelah rumah dibiarkan saja tanpa baju. Tiga mesin cuci yang dulu kerja keras hanya tinggal satu, digunakan untuk cuci baju keluarga sehari-hari. ’’ Yang minta dicucikan paling hanya satu atau dua pelanggan saja. Sekarang suami saya kerja jadi tukang sampah,’’ ucapnya.

Meski begitu, Surati mengaku kini hidup tenang. Dia tidak lagi merasa waswas dua putrinya yang beranjak dewasa salah bergaul. Sebab, para tetanggany­a kini adalah rumah tangga yang normal. ’’ Saya sebenarnya sudah diberi mesin obras dan pelatihan jahit seprei. Tapi, ordernya paling setahun sekali saat RSUD dr M. Soewandhie butuh,’’ katanya.

Kesulitan ekonomi memang masih membayangi. Tetapi, jalan keluar tetap harus dicari. Sebab, orang tidak mungkin terus berpangku tangan dan mengharap belas kasihan. Salah satu contoh yang berhasil adalah Ridwan Tanro, 39. Mantan ketua RT gang Dolly tersebut berhasil melalui transisi hidup. Dulu dia adalah sosok yang menggantun­gkan nafkah dari lokalisasi. Ketika itu dia menjual karbol ke wisma sepanjang gang Dolly. Namun, dia sadar usaha tersebut tidak bisa berlanjut lagi. Prostitusi yang bercampur dengan kehidupan kampung harus diakhiri.

Setelah berpikir keras, dia pun memutuskan kembali memproduks­i meja biliar seperti pada 2003. Yang berbeda, dia diberi ilmu berjualan online. Modalnya, dia hanya mengandalk­an uang panjar dari pembeli untuk membuat meja. ’’ Kalau sekarang saya sudah punya tujuh pegawai. Mereka saudara atau warga sini. Seminggu saya bisa kirim sekitar 14 meja ke seluruh Indonesia,’’ tuturnya.

Kebanggaan tersebut semakin bertambah karena dia mengaku bisa berhasil. Meski begitu, sebagai warga Dolly, dia tetap berharap pemerintah mau memberikan perhatian lebih kepada wargawarga yang tinggal di gang-gang belakang wisma. Menurut dia, banyak di antara mereka yang sebenarnya belum terserap dalam usaha UKM. Tidak seperti warga di Jarak yang sudah mendapatka­n banyak fasilitas UKM.

UKM terbesar bimbingan pemkot di gang Dolly tidak lain merupakan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Mampu Jaya yang memproduks­i sepatu. Sayangnya, memang jarang ada warga gang Dolly yang bergabung dengan kelompok usaha tersebut.

Ketua KUB Mampu Jaya Atik Triningsih tidak menampik hal itu. Menurut dia, banyak yang akhirnya menolak ikut dalam kelompok usahanya karena pendapatan kecil. Biasanya, satu penjahit hanya diberi ongkos Rp 200 untuk setiap sepatu atau sandal yang tuntas dijahit. Itu pun tidak rutin.

Meski begitu, Atik mengaku bahwa kelompok usahanya sekarang sedang berkembang pesat. Terutama produksi sandal hotel. (sal/bil/c20/git)

 ?? GHOFUUR EKA/ JAWAPOS ??
GHOFUUR EKA/ JAWAPOS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia