Jawa Pos

Kini Lebih Tenang Mengaji

-

PESANTREN Jauharotul Hikmah ( JH) bagai oase di tengah gurun. Lantunan Alquran tidak terputus sejak 2008 hingga kini. Ada doa-doa para santri cilik di balik penutupan Dolly. Penutupan Dolly bak kemenangan bagi mereka. Untuk sampai di pesantren, mereka tidak perlu lagi menembus wisma-wisma prostitusi. Jiwa polos mereka kini lebih terlindung­i.

Pesantren itu sengaja diletakkan di tengah salah satu gang yang memiliki wisma terbanyak. Tepatnya Gang IV B. Siapa sangka, gedung yang dipakai untuk mengaji dulu merupakan tempat mesum. Sekat-sekat kamar telah dibongkar sehingga menjadi aula luas. ”Saya dan saudara-saudara membelinya tahun 2008,” jelas Muhammad Nasih, manajer pesantren itu.

Kemarin sore (19/6) aktivitas mengaji sedang libur. Namun, ada saja santri yang datang. Salah satunya Ilham Ruwanda. Dia berjalan kaki dari rumahnya di Banyu Urip. Sudah lima tahun ini dia mengaji di pesantren tersebut. Tampaknya dia salah datang. ”Katanya ada undangan buka bersama?” ujar Ilham. ” Lho, acaranya Rabu, Ham,” sahut Nasih, lalu meringis.

Karena telanjur datang, Ilham diminta tetap mengaji. Setelah mengaji, Ilham diminta untuk menceritak­an pengalaman­nya menjadi santri di eks lokalisasi itu. Meski baru lulus SD, dia paham bahwa pesantrenn­ya berdiri di kawasan prostitusi. ”Ya, Pak, tahu. Tapi, disuruh ibu ngaji di sini. Enggak apa-apa katanya,” ujar bocah yang baru lulus dari SD Bahrul Ulum itu.

Setelah Ilham pulang, datang lagi Dhea Yolivia. Usianya masih 12 tahun, kelas V SD. Rumahnya berada di depan pesantren. Saat masuk ke aula, dia diminta untuk mengaji. Lalu menceritak­an pengalaman­nya selama tinggal di kawasan lokalisasi.

Dia senang karena sudah tidak ada wisma yang buka. Namun, dia masih mengeluhka­n bisnis karaoke yang dibiarkan. Tempat karaoke itu berada tepat di samping pesantren. ”Kadangkada­ng enggak bisa tidur kalau malam,” jawab Dhea dengan malu-malu.

Nasih menerangka­n, keadaan Dolly dan Putat Jaya saat ini jauh lebih baik. Namun, masih ada kegiatan karaoke yang dibiarkan meski tanpa bisnis prostitusi. ”Sudah lebih baik lah. Pelanpelan,” kata dia.

Meski bertahan hingga kini, pesantren itu ternyata nyaris tutup. Pada 2013, santri yang mengaji tinggal 20 orang. Padahal, kegiatan mengaji itu tidak dipungut biaya sama sekali. Namun, dia tidak patah semangat. Dia lantas memilih jemput bola. Orang tua santri dipanggil lagi. Mereka ditunjukka­n bahwa pesantren gratis itu bukan ecek-ecek. Pengurus sudah merombak pesantren. Mulai menggunaka­n AC dan check clock untuk merekam kehadiran para pengajar. Telat satu jam, gaji pengajar dipotong Rp 1.000. Selain itu, dibuat aturan baru untuk santri. Santri yang membolos bakal dikeluarka­n. ”Ternyata, setelah kami tunjukkan itu, mereka mau menyuruh anaknya untuk ngaji lagi,” ujar pria 36 tahun tersebut.

Jumlah santri kini semakin banyak. Saat ini ada 150 santri dari berbagai usia. Mulai seumuran murid TK hingga SMA. Bahkan, pesantren tidak cukup untuk menampung banyaknya santri. Setiap hari Nasih harus merelakan halaman depan rumahnya dipakai untuk mengaji. Itu pun belum cukup. ”Satu lagi di rumah Ustazah Runi,” jelasnya. (sal/c11/oni)

 ?? SALMAN MUHIDDIN/JAWA POS ?? KHUSYUK: Dhea Yolivia mengaji bersama Muhammad Nasih di Pesantren Jauharotul Hikmah, kemarin.
SALMAN MUHIDDIN/JAWA POS KHUSYUK: Dhea Yolivia mengaji bersama Muhammad Nasih di Pesantren Jauharotul Hikmah, kemarin.
 ?? YUYUNG ABDI/JAWA POS ?? MASA LALU: PSK di Wisma Barbara menjajakan diri saat Dolly belum ditutup.
YUYUNG ABDI/JAWA POS MASA LALU: PSK di Wisma Barbara menjajakan diri saat Dolly belum ditutup.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia