Penghulu Kawin Kontrak Laris Manis
Dolly pernah menjadi ikon Surabaya. Kawasan ’’merah’’ itu juga pernah menjadi pusat perekonomian kota. Berikut catatan Yuyung Abdi, fotografer Jawa Pos, yang pernah melakukan penelitian mendalam di sana.
ADA beberapa fenomena unik yang terjadi di Dolly sebelum penutupan. Salah satunya tentang modin atau penghulu. Di kawasan lokalisasi Jarak, ada beberapa modin/penghulu yang membuka praktik diam-diam. Mereka bersedia menikahkan konsumen yang ingin ’’bermain’’ dengan perempuan penghuni wisma di Dolly. Konsumen itu pun merasa halal berhubungan badan setelah dinikahkan sang modin.
Permintaan semacam itu kebanyakan datang dari konsumen Madura. Mereka lebih memilih area Jarak dibandingkan Dolly. Di tempat itu, mereka bisa tinggal sehari hingga beberapa hari. Biasanya, modin langsung dipanggil ke salah satu wisma bersama dengan dua saksi sekaligus dilangsungkan ijab kabul. Menurut modin, praktik itu diperbolehkan karena perempuan sudah janda, orang tuanya meninggal, dan berada di luar daerah asal sehingga menggunakan wali hakim. Memang tidak setiap hari ada pernikahan ’’kontrak’’ semacam itu. Biasanya, permintaan meningkat saat hari libur.
Fenomena lain adalah pekerja seks yang umumnya memiliki pacar. Sepuluh di antara 15 pekerja seks yang pernah ditemui penulis mengaku punya pacar. Pacar itulah yang memberikan kepuasan emosional serta biologis mereka. Perempuan pekerja seks hampir selalu bertindak multi partnering, yakni memiliki hubungan dengan berbagai konsumen, tetapi juga punya laki-laki tertentu untuk memuaskan hasrat seksualnya.
Pekerja seks tidak pernah melampiaskan libidonya kepada konsumen. Kepuasan seksual justru mereka dapat dari pasangan yang sesuai dengan keinginannya. Para pekerja seks hampir selalu memiliki pacar, kiwir, dan kekasih di luar hubungan mereka dengan konsumen. Sebab, meski sudah melayani konsumen dan mendapatkan materi, mereka tidak memperoleh kepuasan seksual. Kepuasan seksual justru diperoleh dari pacar. Adapun tubuh biologisnya ditujukan untuk konsumen laki-laki. Masa Kejayaan Dolly DOLLY mengalami masa kejayaan pada era 70-an hingga masa reformasi. Waktu itu pelanggan Dolly rata-rata berasal dari kalangan Tionghoa, pelaut asing, maupun tamu yang singgah di Surabaya. Kunjungan warga Tionghoa saat itu menjadi indikator bahwa pengunjung Dolly adalah kelas menengah ke atas.
Pada 1976 sebagian pekerja seks di Dolly adalah perempuan di bawah umur. Sebelum bekerja, pemilik wisma biasanya mendidik mereka. Para pekerja seks belia itu diajari trik-trik agar bisa memiliki pelanggan tetap. Sebelum 2005 masih ada pekerja seks belia di Dolly. Padahal, UU Perlindungan Anak yang diterbitkan pada 2003 mulai diterapkan.
Pada 1982 ada sebuah wisma bernama Ratu Kembar. Di wisma tersebut, para pekerja seks belia mendapat bimbingan untuk meningkatkan layanan pada konsumen. Pukul 00.00, setelah semua wisma Dolly tutup, mereka dikumpulkan di ruang tengah. Mucikari membagikan kiat cara melayani laki-laki. Bagaimana memperlakukan konsumen, membukakan baju, maupun menyiapkan perlengkapan mandi. Untuk menjaga tubuh, mucikari menganjurkan mereka untuk tidak makan pedas, terasi, dan ikan asin. Di ruang tengah itu pula diputar blue film piringan hitam.
Pada masa itu wisma-wisma di Dolly sedang laris-larisnya. Biasanya, satu wisma yang memiliki 10–14 pekerja seks mendapat penghasilan hingga Rp 210 juta sebulan. Dengan demikian, rata- rata pendapatan per hari mencapai Rp 7 juta. Namun, kejayaan itu tidak ber tahan lama. Sejak isu HIV/AIDS mencuat ditambah hilangnya pekerja seks belia, pelanggan Dolly mulai pindah ke tempat prostitusi lain. Dolly mulai sepi.
Pada 2012–2014 merupakan masa terpuruknya transaksi seks di Dolly. Sebab, pendapatan wisma kian merosot. Kondisi itu semakin sepi sejak pemkot menyatakan akan menutup Dolly. Sejak kabar itu mencuat, satu per satu pekerja seks pindah ke tempat prostitusi lain. (*/c15/oni/bersambung)