Jawa Pos

Lihat Rambut Juri untuk Hilangkan Grogi

Antusiasme generasi sekarang memang condong ke hal-hal modern, terutama yang sejalan dengan perkembang­an teknologi. Hanya sedikit di antara mereka yang mau nguri-uri budaya Jawa.

- AGUS MUHAIMIN, Trenggalek

TUBUHNYA bisa dikatakan kurus. Ganteng dan sedikit pemalu. Itu sekilas gambaran tentang Asrofi.

Lahir dari keluarga sederhana, Asrofi tumbuh menjadi remaja yang memiliki disiplin dan tanggung jawab. Buktinya, dia dipercaya sebagai ketua OSIS di sekolahnya.

Ya, beberapa waktu lalu remaja yang baru saja menjalani purnawiyat­a dari SMP 1 Kampak, Trenggalek, itu berhasil memberikan kenang- kenangan untuk sekolahnya, berupa prestasi dalam bidang bahasa Jawa. Prestasi tersebut diraih Asrofi pada ajang pidato bahasa Jawa yang diselengar­akan di Kota Malang beberapa waktu lalu. Kendati tidak menjadi juara karena menempati posisi II, setidaknya prestasi tersebut menjadi kebanggaan karena membuktika­n bahwa sekolahnya mampu bersaing dengan sekolah-sekolah lain.

” Memang sejak kecil selalu diajari berbahasa Jawa oleh orang tua,” kata Asrofi kemarin ( 20/ 6).

Otomatis, kebiasaan itu menjadi tangga awal perjalanan prestasiny­a. Bukan hal baru jika dia ingin lebih mendalami bahasa Jawa. Meski begitu, putra kedua pasangan Rebo dan Suparni tersebut mengaku masih grogi saat tampil dalam kompetisi tingkat Jatim itu.

Maklum, level tersebut tidak bisa disamakan dengan level kabupaten. Meskipun di sisi lain dia juga sudah biasa berhadapan atau berbicara dengan banyak orang. Untuk mengantisi­pasi perasaan grogi tersebut, Asrofi memegang teguh wejangan orang tuanya. Dia disarankan untuk melihat bagian atas orang lain, selain mata, agar perasaan grogi sedikit berkurang.

Dalam praktiknya, Asrofi menggunaka­n trik itu. Saat manggung, dia selalu memperhati­kan juri. Namun, yang dia lihat hanya bagian atas kepala atau rambut juri.

Selain itu, dalam pekan bahasa tersebut, remaja yang senang dengan gending atau tembang Jawa tersebut cukup terbantu. Sebab, dalam lomba pidato tersebut, ada keharusan memasukkan tembang.

Tidak seperti peserta lain yang kurang yakin dengan olah suara, Asrofi yang memang dibesarkan dari keluarga yang mencintai seni mendapatka­n peluang yang baik. ”Sayang, dalam lomba tidak ada gamelan atau alat musik lain yang bisa mengiringi saat menyanyi,” paparnya.

Kesukaan Asrofi dengan bahasa Jawa juga bukan tanpa sebab. Semakin sedikitnya peminat bahasa asli orang Jawa tersebut membuat remaja 15 tahun itu sedih. Minimnya minat untuk menggunaka­n apalagi mempelajar­i bahasa daerah tersebut sudah tentu akan menggerus eksistensi kekayaan lokal. Karena itu, dia terpacu untuk menggiatka­n atau mengampany­ekan gemar dan paham bahasa Jawa. Itu semata dia lakukan untuk menghormat­i kekayaan yang diwariskan oleh para leluhur.

” Kan sayang, sekarang ini jarang orang yang suka dengan bahasa daerah. Dalam arti mempelajar­inya dengan sungguhsun­gguh,” terang dia. (*/and/c11/diq)

 ?? AGUS MUHAIMIN/JAWA POS RADAR TRENGGALEK ?? PEDULI: Asrofi saat ditemui kemarin. Dia ingin melestarik­an bahasa Jawa.
AGUS MUHAIMIN/JAWA POS RADAR TRENGGALEK PEDULI: Asrofi saat ditemui kemarin. Dia ingin melestarik­an bahasa Jawa.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia