Jawa Pos

Kelir Terbatas, Produk pun Limited Edition

Kreativita­s mampu menyulap hal sepele menjadi luar biasa. Kalimat tersebut tepat untuk menggambar­kan sosok Irma Russanti. Melalui beberapa jenis tanah, dia membuat variasi warna kain batik yang unik nan artistik.

-

BELASAN lembar kain batik aneka warna itu terlihat menumpuk di meja jahit Laboratori­um Pengelolaa­n Usaha Busana Universita­s Negeri Surabaya (Unesa) pada Senin (19/6). Jika diamati secara detail, belasan kain batik tersebut mempunyai corak warna yang khas.

Saat dipegang, tekstur kain batik yang memiliki motif kerangkera­ngan tersebut sedikit kasar. Terasa seperti ada butiran pasir halus yang menempel di permukaan kain. ”Ini adalah salah satu karakter khas yang ada di batik tanah,” ujar Russanti sambil memamerkan batik buatannya.

Ucapan perempuan kelahiran 22 Januari 1975 tersebut ada pembuktian­nya. Sambil menenteng sebuah buku tebal, Russanti menunjukka­n beberapa jenis sampel tanah sebagai bahan pewarna kainkain batik tersebut. Warna sampel tanah dalam buku tebal itu beragam. Ada cokelat gelap, cokelat pucat, oranye, dan merah

Di setiap sampel tanah tersebut, dituliskan nama kabupaten asal tanah itu diambil. Di antaranya, Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Malang, dan Kabupaten Bangkalan.

Di antara semua jenis sampel tanah yang dimiliki Russanti, tanah dari Kabupaten Bangkalan menjadi salah satu yang terbaik. Tanah di sana dianggap memiliki keistimewa­an jika dibandingk­an dengan jenis tanah lain yang telah dikumpulka­n. Tanah dari Desa Tanjung Bumi, Kecamatan Tanjung Bumi, tersebut berwarna merah. ”Warnanya paling me non jol saat dimasukkan ke kain,” jelasnya.

Ide pembuatan batik menggunaka­n pewarna tanah itu sebenarnya muncul atas dasar penasaran. Ketika berselanca­r di dunia maya, ibu satu putra tersebut menemukan artikel soal batik tanah liek yang berasal dari Sumatera. Batik tersebut memanfaatk­an pewarna dari tanah. Namun, Russanti tidak menemukan cara pembuatann­ya pada artikel tersebut. Sebab, batik peninggala­n nenek moyang selama ratusan tahun itu kini tidak lagi diproduksi.

Rasa penasaran tersebut menuntun dosen jurusan Pendidikan Kesejahter­aan Keluarga (PKK) Unesa itu melakukan riset. Bersama Yulistiana, salah seorang dosen PKK, Russanti mulai melakukan uji coba. Tidak adanya referensi pembuatan batik pewarna tanah membuat Russanti bekerja ekstra. Dia menjalani penelitian dari nol. Pertama-tama, dia menjajaki jenis tanah dari beberapa daerah. Percobaan yang dimulai pada 2012 itu tidak mudah, bahkan sering menuai kegagalan.

Misalnya, saat menjajal tanah dari Kabupaten Malang. Tanah yang berwarna sedikit terang tersebut ternyata tidak bisa menempel di permukaan kain. Tanah di daerah itu terlalu banyak mengandung silika. Karena itu, saat kain batik tersebut dicuci beberapa kali, warnanya mudah rontok.

Selain kerekatan, penyerapan warna tanah pada kain menjadi pertimbang­an Russanti dalam memilih tanah yang akan digunakan. Makin berwarna, tanah tersebut makin cocok untuk kain batik.

Ketika bahan sudah terkumpul, pembuatan selembar batik tanah sebenarnya tidak terlalu sulit. Tanah yang sudah digerus harus diayak. Setelah halus, tanah dicampur air. Perbanding­annya 2 kilogram tanah dicampur dengan 1 liter air. Agar terlihat menarik, Russanti menggunaka­n beberapa jenis warna tekstil untuk kombinasi. Biasanya lapisan tanah akan digunakan sebagai warna dasar. Setelah rata, pewarna tekstil ditambahka­n untuk membuat warna lebih terang.

Selain dibuat menggunaka­n bahan yang unik, batik tanah mempunyai keunggulan bila dibandingk­an dengan batik pewarna tekstil. Warna batik tanah tidak akan pernah sama ketika sudah menjadi sebuah kain meski jenis bahan dan komposisi adonan dibuat sama persis. Produk pun bersifat limited edition.

Mengenai keunikan itu, Russanti tidak mengetahui­nya dengan jelas. Setiap dia membuat batik dengan jenis tanah yang sama pada waktu yang berbeda, hasilnya tidak akan serupa. ”Entah lebih gelap atau lebih terang. Pokoknya pasti berbeda,” ucap alumnus jurusan Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut.

Kendati secara warna dan kehalusan bahan masih kalah dengan batik pewarna tekstil, batik tanah tetap memiliki keunggulan. Terutama dari segi kenyamanan. Dia mengklaim, penggunaan bahan tanah sebagai pewarna kain membuat batik tersebut lebih dingin saat dipakai. Unsur tanah yang menempel pada serat kain membantu penyerapan keringat. Karena itu, pengguna tetap nyaman menggunaka­nnya meski cuaca sedang panas-panasnya.

Melalui inovasinya, Russanti telah melakukan pelatihan pembuatan batik tanah tersebut ke beberapa kelompok UKM di wilayah Sidoarjo. Kelompok itu memang menjadi fokus Russanti untuk mengembang­kan batik ciptaannya. Sama dengan batik pada umumnya, pembuatan batik tanah tidak membutuhka­n tempat khusus. Bisa diproduksi di teras rumah, bahkan lebih ringkas. Sebab, perajin batik tidak memerlukan saluran khusus untuk membuang limbah. Sisa pewarnaan produksi batik tanah itu bisa disiramkan ke tanaman. Tanpa perlu khawatir tumbuhan tersebut layu dan mati.

Untuk bahan, masyarakat tidak perlu cemas. Sebab, bahan tanah memiliki nilai jual yang murah sehingga tidak terlalu memberatka­n perajin batik. Russanti optimistis pembuatan batik tanah inovasinya dapat berkembang pesat. Jenis tanah yang bervariasi dan warna berbeda di Indonesia membuat batik tersebut layak untuk terus dikembangk­an. Dia mencontohk­an wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Di provinsi tersebut, terdapat jenis tanah berwarna ungu. ”Nah, ini tinggal kita eksplorasi. Kalau bisa, kan pasti menarik,” harapnya. (*/c16/nda)

 ?? EDI SUSILO /JAWA POS ??
EDI SUSILO /JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia