Jawa Pos

Dolly Tutup, Pindah ke Ruko

Prostitusi di Surabaya tidak bisa dilepaskan dari Dolly yang ditutup pada 18 Juni 2014. Setelah 44 tahun Dolly mewarnai kota, pemkot akhirnya berhasil menutup kompleks prostitusi itu. Namun, penutupan tersebut tidak membuat jera pelaku dan pekerja seks. M

- YUYUNG ABDI

SAAT lokalisasi Dolly ditutup, transaksi seks beralih dengan menggunaka­n medium ponsel. Lokasinya juga masih berada di depan gang Jalan Girilaya. Cara kerjanya tidak menampakka­n perempuan secara langsung, tapi dengan menunjukka­n foto di HP perantara. Ketika ada kesepakata­n, pekerja seks akan diantarkan ke hotel mini di sekitar kawasan itu. Perempuan pekerja seks yang menghuni tempat kos di sekitar Dukuh Kupang Timur dijemput ojek untuk diantarkan ke hotel yang disepakati.

Saat Dolly ditutup, pekerja seks memilih tempat kos sebagai tempat tinggal sekaligus tempat mencari penghasila­n dari transaksi seks. Tempat kos tersebut dulu juga dipakai untuk pekerja seks saat Ramadan. Pada pertengaha­n bulan, biasanya mereka menggunaka­n tempat itu untuk menyiasati larangan buka selama Ramadan. Sekarang rumah kos tersebut penuh dengan perempuan mantan pekerja seks. Akhirnya, banyak rumah yang membuka tempat kos untuk menampung perempuan-perempuan itu.

Satu rumah kadang berisi 3 hingga 6 perempuan. Sebagian pekerja seks masih memilih kos di sekitar wisma Dolly. Tarif pekerja seks dengan cara itu menjadi lebih mahal dibanding sebelum penutupan Dolly. Dulu tarif terendah pekerja seks sekitar Rp 100 ribu. Kini tarif terendahny­a Rp 300 ribu, belum termasuk hotel.

Perempuan eks Dolly juga menjajakan diri di sekitar Jalan Chairil Anwar maupun Prapanca. Selain nongkrong di warungwaru­ng pinggir jalan, mereka menggunaka­n motor. Mereka melakukan aksi sendirian di atas pukul 12 malam.

Cara lain yang dilakukan, perempuan pekerja seks ikut pemilik/pengelola wisma, seperti yang dilakukan SK, RN, maupun TH. Setelah Dolly ditutup, SK pindah ke kompleks pertokoan Kedungdoro. Dia bahkan melebarkan sayap di Darmo Park. Anak buahnya dibawa serta ke tempat itu. Sebagian perempuan memutuskan pindah ke tempat prostitusi di Tunjungan. Ada juga yang memilih untuk migrasi ke Darmo Park. Tidak semua perempuan dapat diterima di tempat itu. Perpindaha­n perempuan Dolly ke Darmo Park juga diseleksi lagi. Pelaku usaha prostitusi­relaksasi tersebut menerapkan ketentuan minimum order. Bila hanya memperoleh sedikit tamu, mereka diminta untuk mengundurk­an diri karena tidak memenuhi target.

Migrasi selanjutny­a dilakukan ke sejumlah tempat pijat ruko di Surabaya. Penulis telah menelusuri sejumlah perempuan yang pindah ke kawasan Dharmawang­sa dan panti pijat di pertokoan Kalibokor. Dua lokasi itu seakan menjadi tempat favorit mereka. Beberapa mantan pekerja eks Dolly juga menghuni tempat pijat di pertokoan daerah Surabaya Selatan. Semula, pijat di daerah tersebut tidak begitu ramai. Tapi, sekarang bermuncula­n tempat pijat plus baru. Begitu banyak prostitusi­relaksasi yang membentuk semacam koloni, meskipun juga terdapat bisnis lain di pertokoan tersebut. Penutupan lokalisasi Dolly mendorong melonjakny­a tempat prostitusi-relaksasi di sejumlah ruko di Surabaya. Prostitusi di ruko memang tidak sesemarak Batam dan Jakarta. Geliat prostitusi ruko mulai marak sejak ditutupnya lokalisasi Dolly.

Pekerja seks asal Dolly selanjutny­a bermigrasi ke Jember. Ada juga beberapa kelompok pelaku usaha di Dolly yang membuka empat wisma di Puger, setelah gagal membuka di Gang Sadar, Baturaden. Di Puger, pelaku usaha asal Dolly sukses menjalanka­n bisnis dengan menerapkan sistem di Dolly. Selain itu, pelaku usaha eks Dolly membuka bisnis di tempat prostitusi di Pekalongan.

Tapi, tidak sedikit yang menjajal peruntunga­n di Bali, Kalimantan, Jogja, dan beberapa tempat prostitusi daerah. Kalimantan Tengah adalah tempat pindahan favorit para eks Dolly, meliputi lokalisasi Pal 12 Palangkara­ya, Pal 12 Sampit, Kereng Pangi, dan Merong. (*/ habis)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia