Jawa Pos

Pasar yang Bekas Bong

-

NAMANYA Pasar Bong. Kata bong berarti pekuburan Tionghoa. Memang, lokasi Pasar Bong merupakan bekas makam warga Tionghoa. Namun, jejak makam sudah tidak ditemukan. Kawasan itu sepenuhnya berubah menjadi pasar yang dipadati tokotoko yang menjajakan barang dagangan suvenir khas ibadah haji dan umrah.

’’Saya pernah dengar, ada bangunan toko yang masih ada makamnya,” ujar Dewi Lindawati, salah seorang pedagang keturunan Tionghoa di Pasar Bong. Meski begitu, dia mengungkap­kan, bekas makam tersebut sudah tidak ditemukan. ’’Kalau toko saya ini, dulunya bangunan tua,” tambahnya.

Pengurus harian Yayasan Hwie Tiauw Ka Herman Purnomo membenarka­n, kawasan Pasar Bong merupakan bekas makam warga Tionghoa. ’’Ini satu area. Kalau kantor di sini tempat singgah, lalu ada makam yang sekarang pasar itu,” ungkapnya. Namun, dia tidak dapat memastikan tahun berapa tepatnya Pasar Bong didirikan.

Area pasar itu juga merupakan kawasan perdaganga­n yang dekat dengan Kalimas. Di dekat Pasar Bong, terdapat dua rumah abu, yaitu keluarga The dan keluarga Han. Dua rumah tersebut kini terletak di Jalan Karet, persis di belakang kawasan pasar. ’’Tapi, kalau makam sendiri, itu campuran marga orang Tionghoa,” ucap Herman.

Ahli sejarah Unair Purnawan Basundoro memperjela­s kemungkina­n Pasar Bong sebagai bekas kuburan Tionghoa. Hal itu terlihat dari nama pasar serta letaknya di kawasan pecinan Kembang Jepun. ”Dulu, di Surabaya, banyak makam Tionghoa. Kini, banyak yang hilang,” tutur Purnawan.

Pasar Bong merupakan pasar tertua di Surabaya. Terdapat tujuh pasar lainnya yang dibangun berbarenga­n dengan Pasar Bong. Di antaranya, Pasar Pabean, Pasar Turi, dan Pasar Genteng. Menurut arsip sejarah yang ditunjukka­n Purnawan, pasarpasar tersebut ada sejak 1915.

”Saya menduga delapan pasar itu merupakan bentukan masyarakat sendiri,” tutur pria yang menjadi staf pengajar di prodi ilmu sejarah tersebut. Awalnya, pedagang hanya berkumpul. Lambat laun, aktivitas jual beli meningkat dan akhirnya terbentuk pasar. Pasar Bong sangat mungkin dijalankan orang-orang Tionghoa, meski sekarang penjual di pasar itu multiras.

Sejak Belanda datang, makin banyak pasar di Surabaya. Sejumlah kampung, makam, dan tempat umum lainnya diubah gemeente (pemerintah Belanda setingkat wali kota) guna meningkatk­an pendapatan lewat pajak.

Pada zamannya, Pasar Bong pernah menghasilk­an pajak sekitar 1.300 gulden. Uang pajak tersebut dikumpulka­n perusahaan pasar bentukan Belanda. Setiap pedagang ditarik sejumlah uang. ”Dibandingk­an dengan pasar lainnya, pendapatan pajak Pasar Bong memang tidak terlalu besar,” ujar Purnawan. (lyn/bri/c18/jan)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia