Jawa Pos

Bung Karno, Santri, dan Visi Kebangsaan

- ABDULLAH AZWAR ANAS*

SALAH satu syarat bagi tegaknya NKRI adalah menyatunya elemen santri dengan elemen nasionalis. Nasionalis dan santri, elemen kebangsaan dan religiusit­as, ibarat dua sisi dari satu keping mata uang dalam semesta Republik Indonesia. Kesemuanya adalah archetype atau pola dasar dari bangunan solid bernama Republik Indonesia.

Persatuan antara elemen santri dan nasionalis maupun kebangsaan dan religiusit­as bukanlah jargonjarg­on politik tanpa makna. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, berkali-kali momen-momen krusial dan kritis hanya bisa dilampaui dengan bersatu padunya komitmen dari entitas santri dan nasionalis. Tanpa persatuan di antara keduanya, mungkin saat ini kita hanya akan mengingat riwayat Indonesia sebagai bagian dari sejarah masa lalu.

Satu hal yang perlu direnungka­n di banyak negeri muslim, hubungan dua entitas itu tidak selamanya mulus seperti di Indonesia. Kita bisa menyaksika­n di Turki, pertentang­an nasionalis sekuler dan kelompok Islamis dapat muncul sewaktu-waktu ibarat api dalam sekam. Di Aljazair, ketegangan kubu sekuler yang diwakili FLN (Front de Liberation Nationale) dengan kaum Islamis (FIS/Front Islamique du Salut) menghasilk­an perang saudara di pengujung 1990-an yang masih membekas hingga kini. Sementara di Mesir, eksperimen­tasi demokrasi pasca-Arab Spring segera kandas akibat ketegangan kaum nasionalis dan kaum Islamis.

Hubungan erat hanya bisa terjadi ketika pemimpin nasionalis memiliki wawasan dan komitmen religius, sementara pemimpin Islam memiliki komitmen kebangsaan. Dalam konteks Indonesia, sejarah telah menorehkan tinta emas mengenai hal ini. Presiden Sukarno, yang dikenal sebagai pemimpin nasionalis, adalah presiden di dunia yang kali pertama menyitir ayat Alquran dalam Sidang Umum PBB 30 September 1960 dengan pidato berjudul To Build the World a New: ’’Hai, sekalian manusia, sesungguhn­ya Aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan, sehingga kamu berbangsa-bangsa dan bersukusuk­u agar kamu sekalian kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasanya yang lebih mulia di antara kamu sekalian, ialah yang lebih takwa kepada-Ku (QS. Al-Hujurat: 13).’’

Sementara KH Hasyim Asy’ari adalah pemimpin Islam yang mengajarka­n pentingnya komitmen kebangsaan, bahkan ketika Indonesia masih belum berdiri. Di awal berdirinya republik, kita tidak lupa bahwa Bung Karno bertanya tentang hukum membela negara bagi umat Islam kepada Mbah Hasyim. Pendiri NU itu dengan sepenuh hati berijtihad bahwa perjuangan membela tanah air adalah bagian dari jihad fisabilill­ah. Ijtihad itu kemudian dalam sejarah dikenal sebagai Resolusi Jihad, yang menunjukka­n pembelaan kaum santri terhadap Republik Indonesia sebagai manifestas­i komitmen kebangsaan yang utuh secara ideologis dan keimanan. Ketua Umum PB NU KH Said Aqil Siroj dalam rangkaian Bulan Bung Karno di Blitar awal Juni lalu menyebut, nasionalis­me Bung Karno bukan berangkat dari mimpi kebangsaan semata. Nasionalis­me Bung Karno lahir dari rahim keimanan. Itulah yang dalam bahasa Mbah Hasyim disebut sebagai hubbul wathon minal iman, cinta tanah air sebagian dari iman: agama dan nasionalis­me bukan dua kutub berseberan­gan, keduanya saling menguatkan.

Bukan hanya pada momen awal kemerdekaa­n kaum santri memperliha­tkan kesetiaann­ya kepada negeri. Ketikarepu­blikmasihb­erusia muda tengah diterpa pukulan dari dalam seperti pemberonta­kan DI/ TII, kaum santri seperti Nahdlatul Ulama menunjukka­n komitmen nasionalis­nya. Pembelaan NU atas Pancasila, republik, dan kepemimpin­an Sukarno ditunjukka­n dengan penolakan terlibat dalam DI/TII. Bahkan, NU memberi gelar kepada Bung Karno sebagai waliyyul amri dharuri bi as-syaukah (kepala negara bidang kenegaraan dan keagamaan).

Melalui pemikiran politik Bung Karno dan Mbah Hasyim, ditunjukka­n kepada seluruh rakyat bahwa tidak ada kemenduaan antara menjadi muslim dan menjadi Indonesia, menjadi santri dan menjadi nasionalis, menjadi religius dan berkomitme­n pada kebangsaan. Reaktualis­asi Santri-Nasionalis Yang perlu direnungka­n kemudian adalah apa yang dapat kita pelajari dari kesatuan antara nasionalis dan santri dalam sejarah negeri kita? Saat ini kita berhadapan dengan persoalan sosial yang kompleks dan krusial. Persatuan antara kalangan santri dan nasionalis menjadi sebuah kebutuhan mendesak, bahkan terasa lebih mendesak daripada saat awal republik ini berdiri.

Indonesia tengah berhadapan dengan problem yang juga menjadi perhatian warga dunia. Di te- ngah sejumlah problem sosial yang menjadi pekerjaan rumah bersama seperti kesenjanga­n ekonomi, muncul sentimen frustrasi sosial dan kemarahan yang dapat mudah terletup membelah negeri. Problem-problem sosial-ekonomi bertemu dengan persoalan lain, yakni maraknya intolerans­i dan merebaknya ekspresi keberagama­an eksklusif. Manifestas­i sosial yang kemudian dikenal dengan radikalism­e ini tentu bertolak belakang dengan karakter tasamuh kaum santri.

Dalam konfiguras­i politik terkini, berbagai persoalan tersebut salah satunya meletup dengan pembelahan sosial seperti yang berlangsun­g dalam pilkada Jakarta belum lama ini. Pembelahan yang berpotensi mengoyak keindonesi­aan kita.

Dalam krisis kebangsaan seperti ini, posisi Jatim sangat menentukan. Seperti halnya ketika Bung Karno bertanya tentang hukum membela republik dan dijawab Mbah Hasyim Asy’ari secara tegas sebagai jihad fisabilill­ah; maka di Jatim- lah, mo men Pilkada 2018 seyogianya menjadi momen kebangkita­n bagi putraputri santri- nasionalis untuk menyatukan kain kebangsaan yang terancam terkoyak. Seperti dulu pernah dilakukan oleh Bung Karno dan Mbah Hasyim Asy’ari. (*) *) Bupati Banyuwangi

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia