Setelah Pro dan Kontra LHS
PRO dan kontra lima hari sekolah (LHS) memang mereda. Yang kontra menyatakan LHS dibatalkan dan Permendikbud No 23 Tahun 2017 dianggap tidak berlaku lagi. Di pihak lain, yang pro yakin sebaliknya. LHS tidak dibatalkan, tetapi justru diperkuat. Sebab, yang akan mengatur LHS bukan lagi permendikbud, melainkan peraturan presiden (perpres).
Perlawanan argumen itu menjadi indikasi kuat. Naga-naganya, meredanya pro-kontra soal LHS tersebut hanya jeda. Ibarat dua tiupan peluit pemisah dua babak dalam pertandingan sepak bola. Istirahat.
Akankah pro-kontra berlanjut lagi? Kuat kemungkinan itu. Mengapa? Keputusan menunda pemberlakuan LHS belum tuntas mengurai ”pertentangan” substansinya. Belum ada titik temu. Kekhawatiran masih menyala. LHS bakal ”mematikan” madrasah diniah, bakal membuat stres siswa, mematikan kearifan lokal daerah, dan sebagainya.
Seberapa kuat, yakin, dan jujur pun Kemendikbud menjelentrehkannya seolaholah tidak bermakna. Seakan mentah pula jaminan bahwa semua kecemasan krusial itu sebenarnya hanyalah bayang-bayang. Belum tentu terjadi.
Dengan tetap berbaik sangka, mustahilkah LHS itu bakal menghasilkan jawaban atas semua kekhawatiran dan kecemasan tersebut? Itulah tantangan bagi perpres pengganti permendikbud. Harus mampu melembutkan perbedaan. Mewadahi citacita murni pemangku pendidikan.
Yang tidak kalah penting ialah melempar jauh-jauh kalau ada ”yang tersembunyi” di balik itu semua. Baik ekonomi, golongan, lebih-lebih politik. Hal-hal ”tersembunyi” itulah yang kerap menurunkan kebijakan top down, sentralistik, dan tergesa-gesa.
Lantas, lahirlah sikap reaktif, dialog antagonistik, dan atmosfer yang konfliktif. Tak ada konsensus. Padahal, keberhasilan pendidikan mustahil hanya diraih dengan tangan kekuasaan. Memperhatikan suara dan peran pelaksana pendidikan di seantero negeri adalah mutlak! (*)