Jawa Pos

Meski Sepuh, Kondisi Suster Masih Sangat Baik

-

Di Surabaya, para suster Abdi Roh Kudus, nama lain tarekat tersebut, menangani Rumah Sakit Katolik St Vincentius a Paulo. Di belakang rumah sakit itu pula para biarawati tinggal. Termasuk biarawati lanjut usia.

Kemarin suster Aldeberta memang dijadwalka­n foto dan mengisi data biometrik untuk e-KTP. Dia pun didandani secantikca­ntiknya di tengah semua kesederhan­aan. Baju tidur bermotif bunga kuning dan sebuah bando hitam polos jadi pilihan untuk foto identitas terbarunya. Sesekali dia mengigau dan sedikit bergerak.

Lisa merayu Suster Aldeberta dengan impian yang hingga sekarang belum terwujud. Yakni, bertugas di Roma, Italia. Menurut Lisa, itu rayuan paling ampuh untuk membuat suster senior tersebut menurut.

Saat kepala Suster Aldeberta sudah benar, staf Sekretaria­t Dispendukc­apil Irawan Hendiyarto tidak membuang kesempatan. Dia langsung menggerakk­an kamera agar aplikasi di laptop bisa langsung melakukan pengenalan wajah. Perjuangan selama 10 menit untuk memasukkan foto sang suster pun berhasil.

Memang, sesi pengisian data e-KTP tersebut jauh dari ideal. Karena mengalami deformasi, kaki Aldeberta tak bisa lagi diajak berdiri. Duduk pun susah. Karena itu, satu-satunya harapan adalah mengambil foto dari atas. Untuk mendapatka­n background sesuai ketentuan, pria yang akrab disapa Hendi itu hanya bisa melapisi bantal Suster Aldeberta dengan sepetak kain beludru merah.

”Kalau sudah begini, memang tidak bisa minta sempurna. Yang penting, ada konfirmasi identitas secara biometri,” ungkapnya.

Benar saja. Saat melakukan rekam data sidik jari, Suster Aldeberta sedikit mengerang. Entah karena sakit atau takut, tangannya yang memang selalu mengepal itu rasanya tidak mau dibuka. Alhasil, hanya sidik jari jempol yang didapat Hendi.

Rekam iris mata? Jangan harap. Untuk tanda tangan saja, Suster Regina Chandraran­i, bagian data Kongregasi SSpS, harus menggantik­an Aldeberta. ”Sebenarnya, dia sudah mau diambil datanya Jumat (16/6). Tapi, ternyata ada masalah dan baru bisa sekarang,” jelas Suster Regina.

Namun, di tengah semua kesulitan, termasuk sidik jari yang mulai memudar, proses rekam identitas untuk e-KTP Aldeberta berjalan cukup singkat. Hanya perlu 20 menit, petugas dispendukc­apil sudah menutup kembali koper yang berisi alat-alat rekam data. ”Kalau lansia lainnya, pengambila­n data satu orang bisa berjalan sampai satu jam. Untungnya, kali ini termasuk lancar,” ujarnya.

Soal reaksi Suster Aldeberta yang tidak begitu menyulitka­n, Lisa yang sehari-hari tidur dengan dia tahu benar. Meski sudah berusia senja, Aldeberta bukanlah perempuan yang sakit-sakitan. Kondisinya saat ini hanya karena faktor usia. Penyakit-penyakit kronis tidak pernah datang. Baik kolesterol, diabetes, maupun pernapasan. ”Paling yang ditakuti hanya jantung lemah. Kalau selain itu, dia sangat sehat dibanding teman seusianya,” jelasnya.

Menurut dia, Suster Aldeberta merupakan salah seorang angkatan biarawati pribumi pertama di Kongregasi SSpS Indonesia. Aldeberta menjadi saksi hidup gerakan SSpS yang pertama datang ke Flores Timur pada 1917. Dan Aldeberta lahir pada 1917 itu.

Pada 1926, saat usianya belum genap 10 tahun, Aldeberta me- mutuskan hidup membiara dan bergabung ke komunitas RKZ. Tentunya, semasa muda, dia menjadi misionaris untuk menyebarka­n agama Katolik ke berbagai wilayah di Jawa Timur. Mulai dari Blitar, Malang, sampai Batu. ”Untuk saat ini, dia adalah biarawati SSpS tertua di Indonesia,” imbuh Regina.

Suster Regina memang berkepenti­ngan mendaftark­an seniornya itu untuk membuat e-KTP. ”Kami mendaftark­an Suster Aldeberta ini hanya karena tugas saya yang bagian dari pendataan biarawati. Kalau umur, tentu kami berdoa supaya beliau bisa punya umur yang panjang,” ungkapnya.

Memang, banyak lansia yang dibuatkan e-KTP sebagai langkah ”siap-siap”. Misalnya, hak tanah makam di Surabaya yang mensyaratk­an e-KTP. Belum lagi soal asuransi dan hak waris.

Nah, Suster Aldeberta tentu tidak memikirkan hal itu. Sebagai biarawati, dia ”tidak punya apaapa”. Semua hidupnya sudah untuk Tuhan. Dan Tuhan pula –melalui Kongregasi SSpS– yang mengurus hidup Suster Aldeberta. Sudah enam tahun ini dia dirawat oleh komunitas RKZ. Bahkan, sejak hanya bisa berbaring di tempat tidur pada 2014, relawan seperti Lisa terus menemani dan menjaganya setiap hari. Kongregasi pun punya bidang tanah di kompleks pemakaman Kembang Kuning untuk biarawati.

Dengan menyandang predikat biarawati tertua di Indonesia, Aldeberta hanya terpaut tujuh tahun dengan biarawati tertua dalam sejarah SSpS seluruh dunia. Biarawati SSpS yang tertua adalah Sr Ephifana asal Belanda. Pada nisannya di Belanda, dia tercatat hidup hingga usia 107 tahun. ”Kami malah berharap Suster Aldeberta bisa hidup sampai 108 tahun. Supaya dia jadi suster tertua di dunia,” ujar Regina. Doa tersebut juga dipanjatka­n oleh Hendi. Dia terkesan dengan perempuan tertua yang ditemuinya itu. Apalagi kondisi hidupnya cukup baik. Tak seperti lansia yang biasa ditemui saat rekam data e-KTP. ”Biasanya, keadaan lansia yang kami datangi itu memprihati­nkan. Mereka kotor dan pipisnya dibiarkan merembes. Karena itu, kami biasanya sambil bersihbers­ih dulu baru foto dan rekam sidik jari,” ucapnya.

Belum lagi kalau mereka harus datang ke rumah sakit jiwa (RSJ). Saat merekam orang gila, Hendi mengaku harus membawa tim ekstra untuk memproses rekam data. Satu orang memegang background, satu orang memfoto, dan satu orang lagi memegang laptop. Sebab, mereka takut pasien di sana mengamuk dan merusak alat.

”Alat kami cuma satu. Itu pun sampai sekarang masih 80 orang yang mengantre. Kalau sudah rusak, kami yang susah sendiri,” ungkapnya.

Lalu, apakah Suster Aldeberta menjadi warga tertua di Surabaya? Hendi belum bisa memastikan. Hingga saat ini, masih ada warga yang tercatat lahir pada 1915. Dua tahun lebih tua daripada Suster Aldeberta. Hanya, Hendi tidak yakin apakah orang di data tersebut benar-benar masih hidup. ”Takutnya, mereka sudah meninggal, tapi belum dilaporkan. Nanti kami tindak lanjuti,” jelasnya.

Sementara itu, Kepala Dispendukc­apil Suharto Wardoyo menyatakan, jemput bola untuk rekam data memang menjadi upaya pemerintah kota guna menjamin fasilitas warga. Pasalnya, dengan sistem yang dikembangk­an, banyak fasilitas yang memerlukan e-KTP sebagai syarat. ”Saya harap warga-warga yang belum membuat e-KTP segera datang. Kalau tidak bisa datang, tinggal isi formulir supaya kami datang,” ujarnya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia